Jumat, 30 Januari 2015

Perjalanan Spiritual, Bagian I ( Bandara King Abdul Azis)



        Alhamdulillah setelah menempuh perjalanan yang panjang menggunakan maskapai Lion Air dari bandara internasional Soekarno Hatta menuju Bandara King Abdul Aziz, Saudi Arabia, akhirnya kaki ini bisa berpijak di  tanah  yang dimuliakan oleh berjuta umat Islam di dunia.  Namun sebelum benar-benar menginjakkan kaki-kaki ini,  kami sebagai jema'ah Umrah harus menjalankan serangkaian pemeriksaan paspor di loket imigrasi bandara King Abdul Azis. Terlebih dahulu sebelum memasuki loket-loket keimigrasian tersebut, begitu senangnya kami karna di pintu kedatangan kami  sudah di sambut meriah oleh para penjual kartu prepaid telpon dan internet. Saya yang notabene seorang yang susah berpisah dari gadged dan internet, sudah merasakan kegalauan yang luar bisa ingin menikmati internet yang memanjakan sejak terhentikannya layanan internet selama.berada di dalam pesawat. Karena beberapa penjual kartu prepaid komunikasi tersebut adalah warga Indonesia, maka mudah bagi saya untuk mulai bertanya sana- sini mengenai keunggulan product tersebut. 
Sesaat sebelum take off ke Soekarno Hatta
         Ketika sedang asik bertransaksi kepada salah satu orang Indonesia yang menjual kartu tersebut di ruang tunggu keimigrasian, sekonyong-konyong  datang  beberapa petugas bandara yang mengenakan seragam paramedis warna biru. Maka sinyal  bahaya pun mulai tertangkap  lewat  antena kasat mata yang menancap  di atas kepala saya.   Maka beginilah akibatnya jika prosudur umrah kurang lengkap. Empat  orang jema'ah asal Lampung termasuk saya dan keluarga saya yang bergabung dengan kelompok jama'ah asal Palembang berada pada zona yang sangat berbahaya. Benar sekali, kami berempat tidak memiliki kelengkapan kartu miningitis sebagai tanda bukti telah menerima  vaksin miningitis. Kabarnya bahwa vaksin tersebut  sangat diwajibkan bagi semua jema'ah Haji dan Umrah. Sebenarnya bukannya kami tidak menjalankan vaksin minigitis tersebut, kami sudah menerima vaksin tersebut kira-kira kurang dari 2 tahun yang lalu ketika hendak menjalankan umrah pertama yang gagal. Lepas dari manfaat dan perdebatan tentang kehalalan vaksin tersebut, kami sekeluarga memang memutuskan untuk menolak  pemberian  vaksin miningitis karena vaksin minIngitis bisa bertahan di tubuh selama 2 tahun kurang dan lebih. Alhamdulillah, berkat kasih sayang dan perlindungan dari Allah SWT, kami berempat bebas dari intimidasi para petugas medis yang berjanggut lebat dan berbadan bongsor tersebut setelah agak lama bermain kucing-kucingan dengan mereka, dibantu dengan kemampuan bahasa tarzan yang kami kuasai sebelumnya. Entah bagai mana warna muka kami waktu itu antara kekalutan jika tidak bisa masuk ke antrian loket imigrasi.
         Perjuangan babak ke dua dilanjutkan di ruang imigrasi yang memiliki beberapa loket antrian. Masing masing loket dijaga oleh petugas-petugas imigrasi yang mengenakan pakaian khas orang Arab lengkap dengan kafiyah yang menghiasi kepala  mereka. Di tempat itu, suara-suara asing mulai cetar membahana dari mulut-mulut mereka dengan kesan yang sedikit kasar bagi telinga saya. Entahlah apa tepatnya nada suara tersebut, tapi sangat jauh sekali perbedaannya dibandingkan dengan para petugas imigrasi di Jepang yang dikenal sangan ramah dan sopan. Ketidakpahaman dari arti ucapan mereka bagi yang lemah berbahasa Arab seperti saya adalah suatu kewajaran, tapi seperti  yang telah disebutkan tadi, karena telah menguasai bahasa tarzan, maka saya paham mereka memberi Instruksi kepada para calon jama'ah supaya merapatkan antrean dan mulai maju mendekati masing-masing loket.  Kami termasuk kelompok jem'aah pertama yang memasuki kantor imigrasi sehingga kami bisa membuat barisan antrian terdepan di masing-masing loket. Petugas loket imigrasi tempat saya berdiri antri adalah seorang Arab berkulit gelap, memakai pakaian tradisional Arab yang sama. Doa-doa pun  saya panjatkan semoga Allah SWT menolong saya supaya mudah untuk lolos dalam pemeriksaan Paspor saya dan keluarga. Saat itu jantung ini seperti mau copot, antara persaan berserah diri dan memohon kepada Allah sang maha penolong. Niat saya hanya satu, supaya Allah benar-benar mengizinkan saya menginjakkan kaki di tanah suci Mekah dan menjalankan ibadah umrah dengan khusuk. Ketika giliran saya tiba, petugas itu agak lama mengamati saya, terlihat  berkali-kali ia membandingkan wajah saya dengan foto di pasport. Mungkin  dia heran, kenapa wajah perempuan Indonesia di hadapannya saat itu berbeda dengan yang tercantum di pasport. Sedikit menaruh curiga juga  sih, jangan-jangan, wajah asli saya jauh lebih mempesona dari yang di pasport, hehehehhehe. Petugas itu berlagak menggunakan bahasa Indonesia dengan aksen yang aneh ketika menanyakan nama dan asal saya sambil berkali-kali mengamati wajah saya dan paspor di tangannya. Akhirnya sambil senyum-senyum tidak jelas, dia terlihat memberikan stampel di paspor saya dan mengembalikannya kepada saya. Alhamdulillah ya Allah, Engkau loloskan hamba dari imigrasi meskipun tanpa surat keterangan vaksin miningitis!. Saya cepat mengambil paspor dan mengucapkan “Syukron” (terimakasih) kepada petugas itu, lalu bergegas keluar dari muka loket dengan hati puas. Sekarang tinggal menunggu nasib paspor ibu dan adik perempuan saya dengan tak hentinya berdoa. Tak lama dari saya, Alhamdulillah keluarga saya dan 1 orang jama'ah dari Lampung mendapatkan kemudahan yang sama.  Rasa syukur dan lega membuat saya seperti mau terbang dan cepat-cepat ingin meninggalkan bandara tersebut.
        Setelah semua anggota jama'ah kelompok kami lolos dan berkumpul, lalu menemukan kejelasan koper masing-masing, kami masih harus menunggu hingga 2 jam lagi hingga dapat melanjutkan perjalanan ke kota Madinah dengan bus. Suasana Lobi  kedatangan Bandara King Abdul Azis sangat gersang dan  dipenuhi debu pasir yang berterbangan, kadang tercium aroma seperti fogging  yang entah dari mana datangnya. 

Ekspresi setelah lolos dari imigrasi