Alhamdulillah
setelah menempuh perjalanan yang panjang menggunakan maskapai Lion Air dari
bandara internasional Soekarno Hatta menuju Bandara King Abdul Aziz, Saudi Arabia, akhirnya kaki ini bisa berpijak
di tanah yang dimuliakan oleh berjuta umat Islam di dunia. Namun sebelum benar-benar menginjakkan kaki-kaki
ini, kami sebagai jema'ah Umrah harus
menjalankan serangkaian pemeriksaan paspor di loket imigrasi bandara King Abdul Azis. Terlebih dahulu sebelum memasuki loket-loket keimigrasian tersebut, begitu senangnya kami karna di
pintu kedatangan kami sudah di sambut
meriah oleh para penjual kartu prepaid telpon dan internet. Saya yang notabene
seorang yang susah berpisah dari gadged dan internet, sudah merasakan kegalauan
yang luar bisa ingin menikmati internet yang memanjakan sejak terhentikannya layanan internet selama.berada di dalam pesawat. Karena beberapa
penjual kartu prepaid komunikasi tersebut adalah warga Indonesia, maka mudah
bagi saya untuk mulai bertanya sana- sini mengenai keunggulan product tersebut.
Sesaat sebelum take off ke Soekarno Hatta |
Ketika sedang asik bertransaksi
kepada salah satu orang Indonesia yang menjual kartu tersebut di ruang tunggu
keimigrasian, sekonyong-konyong datang beberapa
petugas bandara yang mengenakan seragam paramedis warna biru. Maka sinyal bahaya pun mulai tertangkap lewat antena kasat mata yang menancap di atas kepala saya. Maka beginilah akibatnya jika prosudur umrah
kurang lengkap. Empat orang jema'ah asal
Lampung termasuk saya dan keluarga saya yang bergabung dengan kelompok jama'ah
asal Palembang berada pada zona yang sangat berbahaya. Benar sekali, kami berempat tidak memiliki kelengkapan kartu miningitis sebagai tanda bukti telah menerima
vaksin miningitis. Kabarnya bahwa vaksin tersebut sangat diwajibkan bagi semua jema'ah Haji dan
Umrah. Sebenarnya bukannya kami tidak menjalankan vaksin minigitis tersebut,
kami sudah menerima vaksin tersebut kira-kira kurang dari 2 tahun yang lalu
ketika hendak menjalankan umrah pertama yang gagal. Lepas dari manfaat dan perdebatan tentang kehalalan vaksin
tersebut, kami sekeluarga memang memutuskan untuk menolak pemberian
vaksin miningitis karena vaksin minIngitis bisa bertahan di tubuh selama 2 tahun kurang dan lebih. Alhamdulillah, berkat kasih sayang dan perlindungan
dari Allah SWT, kami berempat bebas dari intimidasi para petugas medis yang
berjanggut lebat dan berbadan bongsor tersebut setelah agak lama bermain
kucing-kucingan dengan mereka, dibantu dengan kemampuan bahasa
tarzan yang kami kuasai sebelumnya. Entah bagai mana warna muka kami waktu itu
antara kekalutan jika tidak bisa masuk ke antrian loket imigrasi.
Perjuangan babak ke dua dilanjutkan di ruang imigrasi yang memiliki beberapa loket antrian. Masing
masing loket dijaga oleh petugas-petugas imigrasi yang mengenakan pakaian khas
orang Arab lengkap dengan kafiyah yang menghiasi kepala mereka. Di tempat itu, suara-suara asing mulai cetar membahana dari mulut-mulut mereka dengan kesan yang sedikit kasar bagi telinga
saya. Entahlah apa tepatnya nada suara tersebut, tapi sangat jauh sekali
perbedaannya dibandingkan dengan para petugas imigrasi di Jepang yang dikenal
sangan ramah dan sopan. Ketidakpahaman dari arti ucapan mereka bagi yang lemah berbahasa Arab seperti saya adalah suatu kewajaran, tapi seperti yang telah disebutkan tadi, karena telah menguasai bahasa tarzan, maka saya
paham mereka memberi Instruksi kepada para calon jama'ah supaya merapatkan antrean dan mulai maju mendekati masing-masing
loket. Kami termasuk kelompok jem'aah
pertama yang memasuki kantor imigrasi sehingga kami bisa membuat barisan antrian
terdepan di masing-masing loket. Petugas loket imigrasi tempat saya berdiri antri adalah seorang Arab berkulit gelap, memakai pakaian tradisional Arab yang sama.
Doa-doa pun saya panjatkan semoga Allah
SWT menolong saya supaya mudah untuk lolos dalam pemeriksaan Paspor saya dan
keluarga. Saat itu jantung ini seperti mau copot, antara persaan berserah diri
dan memohon kepada Allah sang maha penolong. Niat saya hanya satu, supaya Allah
benar-benar mengizinkan saya menginjakkan kaki di tanah suci Mekah dan menjalankan
ibadah umrah dengan khusuk. Ketika giliran saya tiba, petugas itu agak lama
mengamati saya, terlihat berkali-kali ia
membandingkan wajah saya dengan foto di pasport. Mungkin dia heran, kenapa wajah perempuan Indonesia
di hadapannya saat itu berbeda dengan yang tercantum di pasport. Sedikit
menaruh curiga juga sih, jangan-jangan,
wajah asli saya jauh lebih mempesona dari yang di pasport, hehehehhehe. Petugas
itu berlagak menggunakan bahasa Indonesia dengan aksen yang aneh ketika
menanyakan nama dan asal saya sambil berkali-kali mengamati wajah saya dan
paspor di tangannya. Akhirnya sambil senyum-senyum tidak jelas, dia terlihat memberikan stampel
di paspor saya dan mengembalikannya kepada saya. Alhamdulillah ya Allah, Engkau loloskan hamba dari imigrasi meskipun tanpa surat keterangan vaksin miningitis!. Saya cepat
mengambil paspor dan mengucapkan “Syukron” (terimakasih) kepada petugas itu, lalu bergegas keluar dari muka loket dengan hati puas. Sekarang tinggal menunggu nasib paspor ibu
dan adik perempuan saya dengan tak hentinya berdoa. Tak lama dari saya, Alhamdulillah keluarga saya
dan 1 orang jama'ah dari Lampung mendapatkan kemudahan yang sama. Rasa syukur dan lega membuat saya seperti mau
terbang dan cepat-cepat ingin meninggalkan bandara tersebut.
Setelah semua anggota jama'ah kelompok
kami lolos dan berkumpul, lalu menemukan kejelasan koper masing-masing, kami
masih harus menunggu hingga 2 jam lagi hingga dapat melanjutkan perjalanan ke kota Madinah
dengan bus. Suasana Lobi kedatangan Bandara
King Abdul Azis sangat gersang dan dipenuhi debu
pasir yang berterbangan, kadang tercium aroma seperti fogging yang entah dari mana datangnya.
Ekspresi setelah lolos dari imigrasi |