Kamis, 04 April 2013

Menyikapi Rasa Kehilangan

Tak terasa hampir 2 bulan menjalani libur musim semi di Jepang. sistem pendidikan di Jepang menerapkan libur semester dua kali setahun, yakni libur musim panas di bulan Agustus sampai September, dan libur musim semi pada bulan Februari sampai Maret. Di Jepang, Kalender Akedamik baru dimulai pada awal April. Di samping itu bulan April dikenal sebagai bulan penerimaan  karyawan baru.

Jika dirasakan kembali, sebenarnya selama hampir 2 bulan libur musim semi ini sudah saya lewati dengan berbagai macam hal diiringi oleh limpah ruah perasaan . Banyak canda tawa dan air mata yang saya lalui selama hampir dua bula terakhir. Diawali dari party-ke party, karaoke, hingga akhirnya bermuara pada  perpisaan dengan orang-orang yang saya kenal dengan baik. Orang-orang yang meninggalkan kesan baik yang mendalam. Beberapa di antaranya bahkan entah mungkin kapan bisa bertatap muka dan bersentuhan kembali dengan mereka  di suatu masa. Memang di zaman sekarang tidak seperti zaman dulu di mana akses komunikasi sangatlah sulit. Lihat saja contohnya Media sosial: Facebook, Twitter, Line, Path yang menghubungkan satu-individu ke individu yang lain melalui cuap-cuap curhatan bahkan bisa berbagi foto, sampai dengan Skype yang menawarkan jasa kecanggihan tekhnologi bertatap muka lewat cam to cam dengan layanan nyaris free talk bisa sampai mulut berbusa. Namun sepertinya kecanggihan teknologi tersebut tidak bisa mengalahkan pertemuan atau kontak fisik secara langsung di muka bumi ini. Kadang saya berfikir, seandainya teknologi membawa kita seperti pada komik Doraemon, di mana tokoh  Nobita bisa leluasa datang dan pergi dengan "Doko demo doa" alias Pintu Kemana Saja milik si kucing Robot Doraemon, maka alangkah mudahnya hidup ini. Warga Indonesia dan seluruh dunia tidak perlu antri BBM untuk memberi makan kendaraan-kendaraan mereka.

Ya, mungkin saja, di suatu zaman nanti, dengan kemajuan IPTEK, maka alat bertekhnologi tinggi tersebut bisa dirasakan dan dinikmati sehingga kita dengan mudah  bebas datang dan pergi menjumpai orang-orang yang kita sayangi kapan saja dan di mana saja seperti si Nobita. Semoga saja.

 Baik melalui kematian, kehilangan, atau perselisihan, ketika kita kehilangan seseorang atau sesorang yang sangat disayangi, kita menjadi kewalahan oleh kepedihan, kesedihan, dan rasa sakit kehilangan. Perasaan-perasaan tersiksa tersebut membuat hati kita  merasa sombong seolah-olah derita yang tidak akan pernah berakhir. Bahkan perasaan kehilangan tersebut bisa menjadi traumatik terhadap diri. Ketika kita belajar mengenal seseorang dan mulai menyukai bahkan mencintai mereka dengan jangka waktu yang relatif, kemudian serta-merta harus berpisah dengan mereka. Maka hal tersebut tidaklah mudah untuk dilalui, bahkan untuk dilupakan. Seperti suatu kepercayaan yang mana aura dan bau si yang meninggalkan masih tersisa di sekeliling ruangan yang biasa ditempati.  Sebenarnya mungkin bukanlah aura, tapi lebih tepatnya adalah kenangan-kenangan  mereka masih tersisa di kepala kita. dibuat seolah-olah masih terdengar suara-suara tengah bercakap-cakap, bersenda gurau, rayu-merayu dan lain-lain. Segala kenangan manis yang terlanjur menempel seperti cipratan cat di tembok putih, tentunya akan sulit dihapus begitu saja. Semua perasaan kehilangan tersebut bisa menguras habis emosi kita, menyisakan deraian air mata setiap saat, meniggalkan luka yang mendalam dan traumatik, luar bisa perih. Wajah yang dulu ceria, bisa tiba-tiba menjadi terkesan lebih tua dari yang biasa karena kerutan kesedihan di wajah. Bagaikan bunga mawar yang dulu segar kini menjadi kering. Kita jadi dibutakan oleh air mata, mata hati kita menjadi gelap dan kita gagal melihat cahaya.
Sahaba-sahabat


Namun tahukah kita bahwa Cahaya yang sanggup menembus gelapnya hati, dalamnya tanah, dan luar angkasa senantiasa mengamati kita. Cahaya sejati yang sesungguhnya tidak  akan akan pernah padam. Cahaya yang menciptakan cahaya. Ya, Dia lah An-Nur yang Maha Bercahaya. Allah subhana Wata'ala.


Inna lillahi wa inna ilayhi raji `oon.Sesungguhnya, bagi Allah kita milik dan, sesungguhnya, kepada-Nya kami akan kembali.

Ketika kehilangan mencabik-cabik sanubari, dan ingatan-ingatan masa lalu menjajah memori, maka ingatlah bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Rabb yang kekal  Abadi. tiada satu mahlukpun yang abadi, termasuk diri kita sebagai jiwa yang ditinggalkan. Sesungguhnya jika kita renungi sebaris ayat dalam Al-quran tersebut, jelaslah dari mana asul-usul kita berada. Dari mana dan mau kemana kita pulang (kembali), kepada siapa, dan untuk siapa kita kembali.

Selama merasakan kepedihan akibat kehilangan tersebut, kita sibuk bertanya " mengapa ini harus terjadi"?,  "alangkah baiknya kalau dulu bigini dan begitu", sibuk menyalahkan diri. Kita hanyut tenggalam  dalam derasnya  pusaran pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu untuk diungkit. 



Sesungguhnya bila kita memahami ayat tersebut, segala sesuatu telah dirancang oleh allah yang maha  Menata (Al Baari').The Maker of Order, tiada satu kesempatan dan gerak-gerikpun yang luput dari rencananya. Setiap detik berlalu telah diperhitungkan oleh-Nya. Perpisahan dan pertemuan. Kelahiran dan Kematian. Setiap detik telah disusun. Kalimat dalam ayat ini pula yang mengingatkan saya dengan peristiwa luar biasa menurut pandangan saya, dimana saat itulah, saya benar-benar merasa bahwa Allah memang maha Penata yang paling dahsyat. Bagaimana mungkin dalam detik dan titik yang tepat di tengah kerumunan manusai berlalu lalang di depan pintu masuk stasiun kereta, Allah SWT mempertemukan saya dengan salah satu sahabat saya di salah satu stasiun di Tokyo, padat penduduk dan luas tanpa saling menghubungi lebih dahulu. Sebuah kebetulan saja kah?, atau memang pertemuan kami adalah pertemuan takdir?  Nalar sulit untuk menerima.

Maka Al-Baari' yang maha kuasa memepertemukan kita dengan seseorang, sekaligus Maha berkehendak memisahkan kita dengan seseorang.





Ketika kita benar-benar memahami arti dari ayat inna lillahi wa inna ilaihi Rorji'un `, kita menemukan bahwa kesedihan tidak akan berlangsung selamanya, dan bahwa kita tidak harus menghancurkan diri kita sendiri. Dengan memahami bahwa hanya Allahlah pemilik jiwa kita, hanya kepada-Nyalah kita kembali dengan berjuang menemukan jalan yang benar untuk berpulang kepadanya, Bertemu dengan yang Maha teduh
 Al -Waduud. Kita harus berjuang menyingkirkan perasaan-perasaan pedih yang sesungguhnya semua itu adalah fatamorgana, karena akan tiba saatnya kita juga kembali cepat atau lambat, pelan tapi pasti.

Cobaan yang dihadapi oleh Ummu Salamah radhiyallahu `anha Allahu, mengajarkan kita pelajaran penting tentang bagaimana menghadapi cobaan, kehilangan, musibah dan situasi di mana kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita harapkan. Pendekatannya terhadap bencana menunjukkan kepada kita apa artinya untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan dan mengakui bahwa Allah (SWT) akan selalu mengembalikan apa yang Dia ambil dari seorang mukmin dengan sesuatu yang lebih baik.Semua TIDAK hilang.




Ya, Namun yakinlah Allah akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik jika kita ikhlas dalam menerima. Hanya dengan berserah diri kepada Al- Barri Allah yang Maha Pengatur, maka jiwa ini akan merasa tenang, menggantungkan semua harapan kepada yang Maha memberi (Provider Abadi), Yang maha kekal abadi (Ever-lasting One), maka rasa perih tersebut akan berangsur-angsur menjadi tenang.


Diceritakan, Suami pertama Ummu Salamah adalah Abu Salamah radhiyallahu `anhu Allahu, yang kembali kepada Allah (SWT) ketika Jumada Al-Akhir pada tahun keempat setelah Hijrah, setelah menerima luka dalam Pertempuran Uhud. Kematiannya  mengakibatkan kesedihan karena ia telah mencintainya dengan tulus. Akan tetapi , Ummu Salamah (ra) tidak gagal untuk berpaling kepada Allah (SWT). Patah hati dengan kepergiannya, dia tetap teguh dalam hubungannya dengan Allah (SWT) dan berserah diri hanya kepada-Nya untuk kita Rabb (Tuhan) adalah Al Mughni-the Pemupuk, satu-satunya yang memenuhi kebutuhan Penciptaan-Nya. Dalam masa dukanya saat ia bertanya-tanya siapa seseorang  yang mungkin bisa menggantikan lebih baik dari Abu Salamah, maka Ia berdo'a kepada Allah:


inna lillahi wa inna ilayhi raji `oon, Allahumma ajirni fi musibati wa li akhlif khayran minha"Sesungguhnya, kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah! Gantikanlah untuk musibah yang telah menimpaku dengan yang  lebih baik dari itu. "Allah (swt) kemudian menjawab nya do'a dengan memberikan nya Rasulullah ﷺ (saw) sendiri! Dalam Syawal pada tahun yang sama di mana Abu Salamah (ra) kembali kepada Allah (SWT), Rasulullah ﷺ menikahinya. Dengan demikian, karena kesabaran dan pengakuan bahwa kita adalah milik Allah (SWT) dan kepada-Nya kita kembali, Allah (swt) kompensasi dia dengan hadiah dan dibalas kehilangannya."Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah?" Dengan memberkati dia dengan Rasullah kita tercinta.


Maka hikmah dibalik cerita di atas tersebut adalah Sabar dan ikhlas, menyerahkan  segala urusan hanya kepada Allah. karena segala yang hilang pasti akan ada gantinya. orang-orang terkasih yang pergi, insya Allah, Ia akan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih baik yang akan menyayangi kita. Bahkan bisa saja dengan kuasa Allah, dipertemukan kembali dengan orang-orang yang kita sayangi.

Tiada ujian dan musibah yang melebihi kapasitas kemampuan kita, karena Allah tiada akan memberi cobaan melebihi kemampuan mahluknya. Hujan pasti berhenti, badai pasti berlalu,dan luka akan mengering segera jika kita Menyadari bahwa hanya kepada Allah tempat kita mengadu, mencurahkan segenab kepercayaan hanya kepada -Nya bahwa kita yakin dengan bantuan-nya semua derita dan musibah akan bisa terlewati. 

Tiada rasa kehilangan, kesulitan  dan musibah yang terlalu sulit untuk dilewati, jika kita menyadari bahwa jiwa dan raga kita ini hnya milik Allah, hanya dari Allah lah dan hanya kepada Allahlah kita, dan semua yang kita miliki akan kembali. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar