Kamis, 04 September 2014

Menjadi Pribadi yang Bermanfaat


    Setiap hari orang  Jepang harus bekerja selama 7 hingga 8 jam, dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, dari hari Senin sampai hari Jumat.  Pada kenyataannya, lamanya 8 jam kerja tersebut belum termasuk jam lembur. Bila diamati, 8 jam kerja dalam sehari di Jepang sama dengan besarnya jumlah jam kerja di Indonesia, khususnya staff kantor swasta dan staff PNS. Bedanya, bila di Jepang, seseorang merasa sungkan  bila meninggalkan tempat kerja paling awal daripada rekan-rekan kerja lainnya, meskipun jam  kerja pada saat itu sudah selesai.  Sehingga mereka akan menahan diri untuk meninggalkan tempat kerja lebih awal dari rekan atau atasan mereka. Sifat tenggang rasa dan “pekewoh” dalam diri mereka menimbukan sifat rasa malu untuk berbeda dari yang lain. Dengan tidak meninggalkan tempat kerja lebih awal, mereka dengan “legowo” meneruskan pekerjaan mereka, atau membantu rekan kerja mereka hingga sebagian besar karyawan menyelesaikan tugas masing-masing. Setelah bersama-sama menyelesaikan tugas di meja kerja, lantas mereka tidak langsung pulang dan beristirahat di rumah. Ada kalanya  mereka  melakukan sosialisasi dengan sesama rekan kerja atau kolega untuk saling  mengenal satu sama lain setelah seharian atau sepanjang minggu bersikap kaku berkutat di lingkungan kerja. Karena di Jepang menganut prinsip sikap  profesional dalam bekerja. Artinya, bahwa ketika bekerja, curahkan seluruh pikiran dan tenaga untuk pekerjaan, dan menghindari hal-hal yang tidak berguna, seperti bergosip, atau bahkan sekedar untuk membaca koran.

       Batas akhir usia bekerja rata-rata 55 tahun dan 60 tahun, kurang lebih sama dengan di Indonesia. Setelah mereka pensiun dari pekerjaan lama, tidak lantas mereka hanya berdiam diri di rumah menikmati hari tua. Meskipun setiap bulan mereka rutin menerima uang pensiun dari pemerintah bagi PNS atau dari asuransi pensiun yang mereka bayar rutin selama masa muda mereka, ternyata tidak sedikit dari lansia di atas usia 60 tahun tetap  meneruskan untuk bekerja. Tentunya jenis pekerjaan lanjutan itu bukan merupakan pekerjaan tetap. Pada umumnya pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan paruh waktu atau honor. Jenis pekerjaan paruh waktu tersebut bisa di bidang apa saja, asal tidak berhubungan dengan 3 K , yakni : Kitsui (Pekerjaan yang berat, melelahkan, menyengsarakan), Kitanai (seperti pekerjaan kotor mafia, kriminal), dan kiken ( berbahaya, besar resikonya).   Selama  tidak menyangkut 3 K tersebut, para lansia Jepang merasa tidak malu untuk melanjutkan kerja paruh waktu, seperti pelayan resoran atau toko, sampai Cleaning Service. Mereka tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan tersebut meski dulu mereka adalah seorang karyawan kantor.  Prinsip mereka dalam bekerja adalah, supaya sisa usia mereka dapat bermanfaat sebaik-baiknya. Bahkan tentunya mereka masih bisa mengumpulkan uang dari jerih payah mereka. Selain itu bekerja bukan semata untuk memperoleh materi, tapi terdapat kepuasan batin ketika  merasakan diri mereka masih bermanfaat, juga selain dapat bergabung di komunitas sosial yang baru. Mereka terlihat tetap  ingin mandiri walau telah memasuki usia pensiun. Ketika saya sedang berbelanja di supermarket atau sekedar jalan-jalan cuci mata di pusat perbelanjaan dan mall, pemandangan di mana nenek-nenek usia 70-an sedang berjalan sendiri sambil menarik tas  belanja dorong mereka tidak sedikit dijumpai. Nenek-nenek atau kakek-kakek yang menggendong ransel belanja tanpa didampingi keluarga adalah pemandangan yang umum di sana. Ada kesan bahwa mereka  masih mampu sendiri dan tidak mau merepotkan keluarga.

  Data statistik tahun 2012 yang dikumpulkanmelalui Kementrian Kesejahteraan  dan Sosial Jepang menunjukkan  bahwa usia harapan hidup di Jepang  menduduki peringkat nomor 1 di dunia. Rata-rata usia harapan hidup di Jepang antara 79, 94 tahun bagi laki-laki, dan 86, 41 tahun bagi perempuan. Maka usia 60 tahun sebenarnya bagi mereka bukanlah usian yang dianggap terlalu tua, sebagai manusia lemah dan patut dikasihani.  Mereka merasa usia 60 tahun adalah usia di mana segala sesuatu diawali lagi, menemukan hal-hal baru. Bagi mereka yang tidak ingin bekerja lagi setelah memasuki usia 60 tahun, mereka bergabung sebagai  sukarelawan dalam bidang sosial dan pendidikan. Suatu hari Saya pernah mendengar cerita yang sangat menarik, bahwa di suatu sudut kota ada seorang nenek berusia sangat tua. Setiap hari ia hanya berdiri di  bawah lampu rambu-rambu lalu lintas. Entah apa yang ia kerjakan hanya dengan berdiri di sana. Ternyata setelah diselidik, ia hanya ingin merasa dirinya bermanfaat bagi orang lain meski sebatas mampu berdiri seharian di sudut lampu rambu lalu lintas!. Betapa orang Jepang ingin merasa dirinya dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, meski hanya dilirik dan dilalui orang.  Sejujurnya saya sedikit menyangsikan kebenaran cerita tersebut, karena saya tidak pernah bertemu dengan orang yang dibicarakan itu secara langsung. kabarnya, banyak dari sukarelawan berani mati yang mendedikasikan diri mereka untuk turut berusaha menghentikan kebocoran reaktor nuklir Fukusima akibat gempa dan tsunami yang melanda prefektur Fukushima tahun 2010 adalah para lansia yakni kakek-kakek. Mereka dengan berani mengorbankan nyawa terkena resiko terpapar bahaya radiasi nuklir demi menyelamatkan Jepang saat itu. Setelah terlebih dahulu berpamitan kepada keluarga. Kisah lengkap tentang sikap heroik mereka lebih mengharukan lagi.

     Beberapa hari sebelum kepulangan saya ke tanah air, ketika saya sedang menyusuri  jalan sekitar  kampus,  secara kebetulan saya melihat seorang nenek renta, mungkin usianya sekitar 90-an. Ia berjalan dengan sebilah tongkat. Tampak sekali ia sudah kepayahan untuk berjalan karena sudah bungkuk.  Saya amati dari kejauhan perilakunya yang berjalan bungkuk dengan tongkat tuanya dengan sesekali duduk berjongkok. Awalnya saya berpikir bahwa ia sedang berjalan-jalan menikmati udara sore yang segar, merasa lelah setelah beberapa langkah berjalan, lalu duduk berjongkok. Karena terbawa rasa penasaran, lalu saya dan teman saya berjalan agak cepat mendekat nenek renta tersebut yang berdiri di seberang kami berdua di tepi pagar kampus. Ternyata pemandangan yang menyentuh kalbu ditemui di sana. Nenek renta tersebut tidak semata-mata hanya berjalan-jalan menghirup udara segar di sore hari itu, tapi ia tengah berusaha membuat dirinya bermanfaat bagi lingkungan sekitar.  Hal yang ia lakukan adalah sekedar mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di tepian pagar kampus!.  Rasa kagum saya kepada nenek renta tersebut tidak mengalahkan rasa hormat saya kepada beliau. Meskipun apan yang dilakukannya bila dipandang sepele sebelah mata dan  terasa tidak berarti, karena   area kampus tersebut sangatlah luas dengan dikelilingi pagar. Maka di sepanjang pagar kampus itu, rumput liar kering tumbuh dengan leluasa. Namun nenek renta tersebut telah membuktikan bahwa dirinya yang renta dengan jalan terseok mampu membuktikan bahwa dirinya masih terlihat bugar dan berguna meskipun sebatas hanya mencabuti rumput liar yang kering satu-persatu, meskipun rasanya tidak mungkin bahwa nenek tersebut mampu mencabuti seluruh rumput liar kering yang tumbuh di seluruh pinggiran pagar kampus yang luas itu. Dari apa yang saya lihat, saya  telah membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa betapa orang  Jepang ingin di sepanjang hidupnya melakukan hal-hal yang berguna. Bukan memposisikan dirinya sebagai lansia lemah yang hanya bisa berbaring di rumah.


Seorang nenek yang saya lihat  di pinggir pagar kampus Akita

     Secara mayoritas,  orang Jepang bukan muslim. Namun justru mereka telah mengamalkan nilai-nilai Islam tanpa mengenal Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wasallam  di dalam hadistnya, salah satu syarat untuk menjadi manusia yang baik di  antara manusia lainnya adalah dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya:

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”
(HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni.disahihkan Al Bani dalam As-Silsilah As-Sahihah)


Sekarang, di sisa usia kita, maanfaat apa yang telah kita bawa untuk keluarga, negara dan agama?
Sudah banggakah kita dengan sekelumit hal yang dilakukan selama ini?
Mari berintropeksi.