Rabu, 04 Desember 2013

Fly Me to The Moon by Balloon


       Semua orang pasti pernah melewati  kenangan masa kecil yang tak terlupakan, entah itu kenangan yang penuh dengan kebahagiaan atau kesedihan. Di masa kecil kita, berawal dari khayalan-khayalan yang berasal dari dongeng, filem, entah itu filem kartun maupun filem bergenre lain mampu memberikan inspirasi untuk melakukan sesuatu di masa depan. Maka itulah awal mula mimpi dan cita-cita terbentuk. Berawal dari panca indra yang terangsang kemudian memberi perintah otak untuk mengerjakan sesuai apa yang dirasakan.

       Ada seorang anak yang terkagum-kagum dengan  sang rembulan,  lalu bertanya ke sang bunda tentang hakikat bulan, " apa sih yang ada di bulan itu, bu?", "aku kepingin lho ke bulan nanti, ayo anterkan adek ke sana", setelah besar ia menempuh jurusan Geodesi, geologi dan geo-geo lainnya guna mencari tahu hakikat alam. Atau seorang anak setelah nonton tayangan video Michael Jackson dengan geraknya yang terkenal " Walking in the moon" (kalau saya ngga salah sebut. hehehheh), ia terobsesi dengan gaya michael Jackson, sehinggaketika dewasa ia memilih jalan hidupnya sebagai seorang penari profesional.

       Bagitupun dengan saya. Saya ingat sekali, ketika saya masih kecil (entah waktu itu saya berumur berapa) sedang asik menonton filem Barat. Sebenarnya Filem tersebut bergenre romantis, dan yang pasti waktu itu saya belum paham dengan maksud ceritanya. Karena filem itu filem Barat, otomatis berbahasa Inggris, dengan teks di layar kaca si mana saya belum bisa membaca, total membuat saya benar-benar tidak paham. Tapi saya tetap menikmati filem tersebut sepotong demi sepotong. Hal yang membuat saya pada waktu itu terlena menonton  filem tersebut adalah tqmpikqn fisik pelakonnya, yang pasti bukan orang Indonesia, rambutnya blonde, hidungnya mancung, bajunya unik seperti baju -baju mainan BP. Hal-hal baru tersebut membuat saya terheran dan nonton sampai habis. Saya yakin sekali bahwa filem tersebut filem yang dibuat pada era 70'an, sebab rambut actress terkesan sekali rambut era 70'an dengan gaya polesan make-up nya. Singkat cerita, akhirnya filem tersebut berakhir dengan bahagia alias Happy Ending dimana pelakon-pelakon filem akhirnya bersatu di suatu tempat, lalu entah kenapa mereka naik balon udara yang berwarna-warni di angkasa. Mungkin itu kali pertama saya melihat ada balon raksasa bisa terbang lewat layar televisi. Karena yang saya tahu bahwa balon itu berukuran kecil,  sebesar kepala manusia atau kelapa, dan tidak bisa menerbangkan manusia.
Ilustrasi balon udara jaman duku, bukan filem yang saya tonton sebenarnya

         Berawal dari keterpukauan akan balon terbang raksasa itu membuat saya ingin naik balon terbang pada waktu itu, hanya menjadi sebuah angan-angan seorang bocah belum sekolah. Tahun berganti tahun, masa berganti masa. setelah belasan bahkan puluhan tahun mimpi naik balon terbang pun sirna, mungkin terlupakan. Setelah saya pulang dari study di Jepang, saya dengar kabar dari teman bahwa di Jepang bisa dapat pengalaman naik balon terbang. Weits!!!!! mengapa waktu masih di Jepang nggak ada yang mengabari tentang itu??? , saya jadi kepikiran, bahkan agak menyesal. Alhamdulillah pada kesempatan kedua menginjakkan kaki di tanah matahari terbit ini, saya benar-benar mencari informasi tentang balon terberbang. Moto saya, apapun rintangannya, berapapun jauh tempatnya, berapapun harganya, saya harus naik balon terbang.

      Meskipun bukan merupakan cita-cita yang besar, Alhamdulillah, doa-doa saya terjawab setelah usaha. salah satu teman Jepang mengajak saya ke lokasi tersebut, yang Alhamdulillahnya lagi tidak terlalu jauh dari kota saya tinggal. Saya hampir saja menyerah karena lokasi dilaksanakannya event balon terbang itu ada di ujung berung dari tempat saya tinggal. Dengan bermodal tekat dan  nekat hanya membawa uang seadanya, saya dan teman-teman, semua berjumlah 5 orang menyewa mobil menuju ke kota Ichinoseki, Provinsi Iwate dengan jarak tempuh tiga jam perjalanan. Untuk menekan anggaran, kami memesan satu kamar saja untuk 5 orang di hotel bertarif lumayan murah, dengan fasilitas kolam mandi air hangat umum yang disebut sentou .

         Tiba di hotel tengah malam, chek out pada pagi buta. Jadi kami memang cuma numpang mandi dan numpang tidur tanpa servis sarapan. Alhamdulillah nyenyak. Setelah Chek out di pagi yang dingin, kami segera menuju ke lokasi balon terbang, meski mampir 10
menit di convinience store untuk membeli sarapan.
       
          Akhirnya waktu yang ditunggu tiba. sebuah penantian panjang seumur hidup akan segera terwujud dalam beberapa menit ke depan, begitu pikir saya. dari dalam mobil menuju beberapa kilo dari lokasi, beberapa balon-balon udara sudah melambai-lambai dari kejauhan, kamera
- ponsel kami dengan tidak sabar mulai  dengan ganas beraksi mengambil gambar-gambar balon udara dari dalam mobil. Sampai akhirnya kami sampai juga di lokasi balon udara tersebut, lapangan Ichinoseki





Tampak dari dalam mobil




Add caption


          Animo pengunjung ternyata cukup besar, antrean panjang sudah mulai tampak dari kejauhan lolasi parkir mobil. Kami pun ikut antre, sementara balon-balon terbang sudah mulai berhamburan di angkasa lapangan tempat kami berdiri. Sambil antre, tak perduli dinginnya udara pagi desa Ichinoseki,  saya sudah mulai membayangkan balon udara warna apa yang nantu saya naiki. Rasa takjub, semangat, tidak percaya memenuhi pikiran. Saya tidak perduli berapa harga tiket naik balon, toh ternyata tiketnya cuma 1000 yen untuk orang dewasa, dikonversikan ke rupiah sekitar 100 ribu. 1000 yen sangatlah murah, masak senilai bahkan lebih murah daripada pergi ke karaoke atau senilai dengan sepiring besar sepagetti. Wahhhh saya mulai curiga. Bukannya merasa senang kenapa bisa bertarif semurah itu.

        1 balon udara bisa diisi oleh 5 orang ditambah beberapa kru balon. Akhirnya tarif 1000 yen terbongkar juga kebusukannya. Ternyata  balon udara itu tidak sepenuhnya benar-benar terbang ke udara. Balon udara tersebut diiikat di masing-masing sisi dengan tambang raksasa dan di tahan di tanah lapangan, sehingga tempuh melayang di udara kira-kira hanya menjangkau 15 meter saja dari permukaan tanah. Oooooooohhhhhh, kembalikan 1000 yen ku!!!!!!!! Padahal bayangan awal saya, kami bisa ikut mengapung  sampai benar-benar di angkasa dengan beberapa ribu yen. Rasa kecewa pasti ada walaupun sedikit. Tapi ibarat nasi sudah menjadi bubur. Bubur nasi yang ada dinikmati saja menjadi bubur ayam lengkap dengan emping di atasnya. Hehehe. Kami berlima hanya bisa tertawa-tawa di antrean yang mengular. Yah, tidak apalah hanya terbang 15 meter, yang penting sudah bisa lihat dengan mata kepala sendiri, sudah bisa menjamah dengan kedua tangan. Setidaknya bisa jadi cerita untuk dibagi-bagi ke teman-teman, bisa dibanggakan ke sanak saudara kelak. Tanpa memperpanjang penderitaan dan rasa malu, lensa-lensa kamera kembali beraksi menggila.



Berada di dalam balon terbang, setengah tidak percaya karna cuma 5 meter

Mesin Balon udara panas





       Akhirnya mimpi masa kecil terkabul sudah. Beberapa jam kemudian hasil jepretan lensa mejeng di beberapa sosial media : Facebook, Twitter, Instagram dengan komentar yang ramai.   khususnya komentar dari teman-teman yang memiliki anak kecil. Ternyata memang balon udara itu menjadi favorit imajinasi anak-anak. Seandainya saya bisa kembali ke masa kecil saya dengan mesin waktu, saya ingin membisikan ke bocah kecil yaitu saya, bahwa mimpi nya di puluhan tahun ke depan akan terwujud.

Alhamdulillahi robbil alamiiin
.



          







Selasa, 01 Oktober 2013

Parade Film Horor Indonesia

"Mata ini lapar Jendral!"
"Perut ini ngantuk Jendral!!"
Gitu ya kira-kira sepotong dialog film Penghianatan G 30 SPKI yg diputar tiap tahun sebelum hari peringatan di TV nasional?.

Bagi saya yang waktu itu masih kecil, malam penayangan film itu bagaikan sebuah momok yang bahkan lebih menakutkan dari film Suzana, atau Brama kumbara aka Saur Sepuh. Ditambah lagi Setiap malam tayang film itu, sanak saudara berkumpul di depan tv, sehingga posisi saya yg masih seorang bocah kecil tidak ada kuasa untuk mematikan tv, jangankan mematikan tv, mengganti Channel tv pun tidak mungkin karena satu-satunya siaran yang bisa masuk ke kampungku dulu  hanya siaran TVRI. Jadi kala itu, yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan diri dari siksaan film tersebut hanyalah pasrah dan ngumpet di dalam kamar dengan membekap bantal di telinga sambil meracau sendiri untuk mengalihkan suara yang masuk telinga hingga akhirnya saya  tertidur dengan sendirinya.

Kemudian keesokann harinya, saya jumpai teman-teman atau sanak saudara sedang membahas potongan-potongan film tersebut dengan nada cerita  berapi-api sambil sesekali menyisipkan raut muka ngeri. Sedangkan saya yang seorang bocah penakut cuma bisa mendengarkan pengalaman mereka nonton tanpa bisa berkomentar apapun.

Alhamdulillah, setelah zaman Berganti, saya nggak perlu sibuk mencari tempat ngumpet dari rongrongan malam tayang film tersebut. Meskipun sudah setua ini pun, kalau ditawari nobar film tersebut, maka saya masih bersikukuh ogah ikut nonton kecuali kalau ada yang mau membayar saya dengan harga yang mahal. Hehehehe



Sekarang, masihkah film tersebut ditayangkan di TV Nasional atau adakah TV swasta yang menayangkannya?. Semoga anak-anak kecil dan anak -anak sekolah tidak mendapat suguhan film sadis atau semacam itu lagi yang bisa memberi dampak negatif dan trauma ke masa depan mereka meski dengan embel-embel pendidikan sejarah, dan sebagainya.

Senin, 15 April 2013

Cahaya-cahaya Cantik Kamakura

  Sekilas tentand Akita. Akita adalah prefektur atau Provinsi yang terletak di Jepang bagian Utara pulau Honshu, tepatnya di wilayah Tohoku ( wilaya di bawah pulau Hokkaido). Akita berbatasan dengan Prefektur Aomori, Iwate dan Yamagata. Oleh sebab itu, wilayah Tohoku, termasuk  Akita dengan ibu kota Akita City merupakan wilayah yang memiliki iklim lebih dingin daripada wilaya-wilayah Jepang di bawahnya, meskipun tidah sedingin Hokkaido. Namun demikian, Akita dan wilayah Tohoku mengalami musim dingin yang lebih panjang dari musim lainnya. Kira-kira bila dihitung, Hawa dingin mulai menerpa Akita dimulai pada bulan November dan berakhir pada pertengahan April. Maka nyaris setengah tahun Akita dan wilayah Tohoku dilanda musim dingin!.

Peta Jepang, dan letak Akita
    Karena wilayah yang dingin ini, maka volume salju yang turun pun melimpah-ruah. Salju turun terparah di bulan Januari hingga Februari. Bayangkan seandainya Indonesia tiba-tiba  mengalami musim salju, tentu akan menjadi pengalaman yang merepotkan, bukan pengalaman yang menyenangkan. Karena Ketika salju turun setiap hari dalam volume yang besar, kemudian lambat laun salju akan menimbun pemukiman, merusak hasil panen kebun, mengganggu transoprtasi.Maka tentu hal tersebut menjadi suatu musibah di indonesia. Namun tidak demikian dengan Jepang. Tahukah anda, di Akita ketika salju mulai menggila, Pemerintah daerah mulai dipusingkan oleh tumpukan salju yang menutupi jalan-jalan. Maka solusi masalh itu dengan mengerahkan tim khusus untuk mengangkut salju dari jalan-jalan utama ke daerah sedikit hunian. Lalu cara menyikirkannya? yaitu dengan menggaruk sarju di jalan-jalan utama dengan truk berbak besar. Hal yang menarik di sini adalah, wilayah kosong yang menjadi tempat pembuangan salju, lambat laun tampak seperti wilayah pegunungan buatan akibat timbunan salju yang menggunun.

   Betapapun melelahkannya pengalihan salju tersebut, Pemerintah dan masyarakat Akita tidak serta-merta memandang salju sebagai musibah. Di sisi lain salju di pandang oleh Masyarakat Jepang, khususnya masyarakat Akita sebagai  sebuah berkah. Mengapa demikian, sebab salju yang melimpah ternyata dapat menghasilkan kualitas air yang bagus, sehingga air yang bagus membuat tanah subur, kemudian tanah yang subur menghasilkan padi berkualitas bagus.

     Salju selain  menghasilkan padi yang enak, Pemerintah dan masyarakat menyikapi salju yang melimpah dengan memanfaatkannya menjadi sesuatu yang berguna. Sesuatu yang dibanggakan dari salju tersebut adalah Perayaan "Kamakura".  Kabarnya Festival kamakura sudah ada sejak 400 tahun yang lalu. Kamakura sendiri adalah sebuah bentuk rumah yang meyerupai rumah suku Iglo Eskimo. Setiap musim dingin di bulan Febuari, Pemerintah kota Yokote di bawah kendali provinsi akita menyelenggarakan perayaan "Kamakura"  dengan mengkreasikan berbagai bentuk yang terbuat dari salju. Seperti bentuk rumah Igloo yang pernah kita Pelajari pada pelajaran IPS sebagai tempat tinggal tradisional suku Eskimo. Ada pula bentuk-bentuk yang menyerupai tokoh-tokoh kartun Jepang, Doraemon, Tonarino Totoro, sampai pada bentuk patung manusia. Sungguh merupakan festival tahunan yang unik, tentunya bersaing dengan Festival salju (yuki Matsuri ) yang ada di Hokkaido, wilayah paling utara Jepang.

 Boneka salju berbentuk tokoh Kartun "Tonari no Totoro"

 Tembok salju yang dipahat berongga-rongga, dan diletakkan lilin, menambah temaram cahaya malam


Lampu berwarna biru terlihat cantik memukau ribuan pengunjung

 Api dari lilin-lilin tersebut tidak padam terkena salju

 Berpose di samping Love Candle

 Lilin-lilin di letakkan di dalam salju sepanjang jalan
     Bentuk menyerupai hati


 Bentuk asli Kamakura
 Amazake, minuman manis beraroma sari kedelai

Merasakan pengalaman di dalam Kamakura
   Pengunjung dipersilahkan mendapat pengalaman menikmati ruangan di dalam Kamakura yang ternyata hangat. Di dalam ruang kamakura biasanya anak-anak dan orang dewasa memanggang kue mochi dan menikmati minuman amazake. Tentunya pengalaman menikmati ruangan kamakura adalah gratis.

  Setelah 2 atau 3 hari pelaksanaan Festival kamakura,Untuk menghindari kecelakan dan bahaya  akibat runtuhan es kamakura, baik kamakura yang masih kokoh berdiri sampai kamakura yang tinggal sisa-sisa, seluruhnya harus dihancurkan dengan mobil-mobil penghancur es di bawah instruksi pemerintah.
Yang mengagetkan adalah biaya merobohkan 1 buah kamakura bisa bernilai 50 ribu yen atau setara dengan 5 juta Rupiah!!!!
Sisa-sisa runtuhan salju pun harus segera dibuang ke area pembuangan yang telah disiapkan.        Akses untuk mencapai lokasi Kamakura adalah dengan menggunakan kereta listrik, dengan jarak tempuh 40 menit (sekitar 2000 yen tiket pulang-pergi). Meskipun jarak yang jauh, namun rasa lelah dan mahal terbayar dengan pemandangan unik menarik yang ada di kota Yokote. Terlebrih lagi, pergi untuk menikmati pemandangan buatan yang indah tersebut ternyata sama sekali tidak dikenakan biaya sepeserpun, kami hanya perlu merogoh kocek untuk transportasi kereta listrik menuju lokasi. Sesampainya di pintu keluar stasiun kereta Yokote, kami langsung disambut dengan minuman yang dibagikan secara gratis. Minuman itu bernama Amazake. Minuman tradisional Akita  berorama manis dan in shaa Allah terbuat dari bahan yang halal. Padahal pengunjung yang datang selama 3 hari itu berjumlah ratusan, bahkan mungkin ribuan.

  Ratusan kamakura berukuran mini yang kabarnya dibuat oleh anak-anak SD setempat benar-benar seperti membawa pengunjung ke negeri antah -berantah.

 Penyelenggaraan perayaan yang cuma-cuma, dan minuman yang gratis dari pemerintah kota yokote membuat saya tidak habis pikir, betapa murah hatinya pemerintah Akita menyelenggarakan acara tahunan sehebat itu. Betapa kreatifnya Masyarakat Jepang, khususnya Akita, mengalihkan Musibah menjadi sebuah Berkah.

                Saya jadi berpikir, alangkah bagusnya bila Indonesia, khususnya masing-masing daerah mulai berpikir kreatif yakni meampilkan kebudayaan lokal yang unik yang hampir tidak dimiliki oleh wilayah lain menjadi suguhan yang membanggakan. Alangkah baiknya jika Departemen pariwisatata tidak terkesan mati suri di meja jabatan mereka. Sehingga Departemen pariwisata di masing-masing daerah bisa menggali potensi SDA dan SDM yang ada di masing-masing daerah dan mengabdikin diri mereka demi memajukan dunia pariwisata di Indonesia.







Kamis, 04 April 2013

Menyikapi Rasa Kehilangan

Tak terasa hampir 2 bulan menjalani libur musim semi di Jepang. sistem pendidikan di Jepang menerapkan libur semester dua kali setahun, yakni libur musim panas di bulan Agustus sampai September, dan libur musim semi pada bulan Februari sampai Maret. Di Jepang, Kalender Akedamik baru dimulai pada awal April. Di samping itu bulan April dikenal sebagai bulan penerimaan  karyawan baru.

Jika dirasakan kembali, sebenarnya selama hampir 2 bulan libur musim semi ini sudah saya lewati dengan berbagai macam hal diiringi oleh limpah ruah perasaan . Banyak canda tawa dan air mata yang saya lalui selama hampir dua bula terakhir. Diawali dari party-ke party, karaoke, hingga akhirnya bermuara pada  perpisaan dengan orang-orang yang saya kenal dengan baik. Orang-orang yang meninggalkan kesan baik yang mendalam. Beberapa di antaranya bahkan entah mungkin kapan bisa bertatap muka dan bersentuhan kembali dengan mereka  di suatu masa. Memang di zaman sekarang tidak seperti zaman dulu di mana akses komunikasi sangatlah sulit. Lihat saja contohnya Media sosial: Facebook, Twitter, Line, Path yang menghubungkan satu-individu ke individu yang lain melalui cuap-cuap curhatan bahkan bisa berbagi foto, sampai dengan Skype yang menawarkan jasa kecanggihan tekhnologi bertatap muka lewat cam to cam dengan layanan nyaris free talk bisa sampai mulut berbusa. Namun sepertinya kecanggihan teknologi tersebut tidak bisa mengalahkan pertemuan atau kontak fisik secara langsung di muka bumi ini. Kadang saya berfikir, seandainya teknologi membawa kita seperti pada komik Doraemon, di mana tokoh  Nobita bisa leluasa datang dan pergi dengan "Doko demo doa" alias Pintu Kemana Saja milik si kucing Robot Doraemon, maka alangkah mudahnya hidup ini. Warga Indonesia dan seluruh dunia tidak perlu antri BBM untuk memberi makan kendaraan-kendaraan mereka.

Ya, mungkin saja, di suatu zaman nanti, dengan kemajuan IPTEK, maka alat bertekhnologi tinggi tersebut bisa dirasakan dan dinikmati sehingga kita dengan mudah  bebas datang dan pergi menjumpai orang-orang yang kita sayangi kapan saja dan di mana saja seperti si Nobita. Semoga saja.

 Baik melalui kematian, kehilangan, atau perselisihan, ketika kita kehilangan seseorang atau sesorang yang sangat disayangi, kita menjadi kewalahan oleh kepedihan, kesedihan, dan rasa sakit kehilangan. Perasaan-perasaan tersiksa tersebut membuat hati kita  merasa sombong seolah-olah derita yang tidak akan pernah berakhir. Bahkan perasaan kehilangan tersebut bisa menjadi traumatik terhadap diri. Ketika kita belajar mengenal seseorang dan mulai menyukai bahkan mencintai mereka dengan jangka waktu yang relatif, kemudian serta-merta harus berpisah dengan mereka. Maka hal tersebut tidaklah mudah untuk dilalui, bahkan untuk dilupakan. Seperti suatu kepercayaan yang mana aura dan bau si yang meninggalkan masih tersisa di sekeliling ruangan yang biasa ditempati.  Sebenarnya mungkin bukanlah aura, tapi lebih tepatnya adalah kenangan-kenangan  mereka masih tersisa di kepala kita. dibuat seolah-olah masih terdengar suara-suara tengah bercakap-cakap, bersenda gurau, rayu-merayu dan lain-lain. Segala kenangan manis yang terlanjur menempel seperti cipratan cat di tembok putih, tentunya akan sulit dihapus begitu saja. Semua perasaan kehilangan tersebut bisa menguras habis emosi kita, menyisakan deraian air mata setiap saat, meniggalkan luka yang mendalam dan traumatik, luar bisa perih. Wajah yang dulu ceria, bisa tiba-tiba menjadi terkesan lebih tua dari yang biasa karena kerutan kesedihan di wajah. Bagaikan bunga mawar yang dulu segar kini menjadi kering. Kita jadi dibutakan oleh air mata, mata hati kita menjadi gelap dan kita gagal melihat cahaya.
Sahaba-sahabat


Namun tahukah kita bahwa Cahaya yang sanggup menembus gelapnya hati, dalamnya tanah, dan luar angkasa senantiasa mengamati kita. Cahaya sejati yang sesungguhnya tidak  akan akan pernah padam. Cahaya yang menciptakan cahaya. Ya, Dia lah An-Nur yang Maha Bercahaya. Allah subhana Wata'ala.


Inna lillahi wa inna ilayhi raji `oon.Sesungguhnya, bagi Allah kita milik dan, sesungguhnya, kepada-Nya kami akan kembali.

Ketika kehilangan mencabik-cabik sanubari, dan ingatan-ingatan masa lalu menjajah memori, maka ingatlah bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Rabb yang kekal  Abadi. tiada satu mahlukpun yang abadi, termasuk diri kita sebagai jiwa yang ditinggalkan. Sesungguhnya jika kita renungi sebaris ayat dalam Al-quran tersebut, jelaslah dari mana asul-usul kita berada. Dari mana dan mau kemana kita pulang (kembali), kepada siapa, dan untuk siapa kita kembali.

Selama merasakan kepedihan akibat kehilangan tersebut, kita sibuk bertanya " mengapa ini harus terjadi"?,  "alangkah baiknya kalau dulu bigini dan begitu", sibuk menyalahkan diri. Kita hanyut tenggalam  dalam derasnya  pusaran pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu untuk diungkit. 



Sesungguhnya bila kita memahami ayat tersebut, segala sesuatu telah dirancang oleh allah yang maha  Menata (Al Baari').The Maker of Order, tiada satu kesempatan dan gerak-gerikpun yang luput dari rencananya. Setiap detik berlalu telah diperhitungkan oleh-Nya. Perpisahan dan pertemuan. Kelahiran dan Kematian. Setiap detik telah disusun. Kalimat dalam ayat ini pula yang mengingatkan saya dengan peristiwa luar biasa menurut pandangan saya, dimana saat itulah, saya benar-benar merasa bahwa Allah memang maha Penata yang paling dahsyat. Bagaimana mungkin dalam detik dan titik yang tepat di tengah kerumunan manusai berlalu lalang di depan pintu masuk stasiun kereta, Allah SWT mempertemukan saya dengan salah satu sahabat saya di salah satu stasiun di Tokyo, padat penduduk dan luas tanpa saling menghubungi lebih dahulu. Sebuah kebetulan saja kah?, atau memang pertemuan kami adalah pertemuan takdir?  Nalar sulit untuk menerima.

Maka Al-Baari' yang maha kuasa memepertemukan kita dengan seseorang, sekaligus Maha berkehendak memisahkan kita dengan seseorang.





Ketika kita benar-benar memahami arti dari ayat inna lillahi wa inna ilaihi Rorji'un `, kita menemukan bahwa kesedihan tidak akan berlangsung selamanya, dan bahwa kita tidak harus menghancurkan diri kita sendiri. Dengan memahami bahwa hanya Allahlah pemilik jiwa kita, hanya kepada-Nyalah kita kembali dengan berjuang menemukan jalan yang benar untuk berpulang kepadanya, Bertemu dengan yang Maha teduh
 Al -Waduud. Kita harus berjuang menyingkirkan perasaan-perasaan pedih yang sesungguhnya semua itu adalah fatamorgana, karena akan tiba saatnya kita juga kembali cepat atau lambat, pelan tapi pasti.

Cobaan yang dihadapi oleh Ummu Salamah radhiyallahu `anha Allahu, mengajarkan kita pelajaran penting tentang bagaimana menghadapi cobaan, kehilangan, musibah dan situasi di mana kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita harapkan. Pendekatannya terhadap bencana menunjukkan kepada kita apa artinya untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan dan mengakui bahwa Allah (SWT) akan selalu mengembalikan apa yang Dia ambil dari seorang mukmin dengan sesuatu yang lebih baik.Semua TIDAK hilang.




Ya, Namun yakinlah Allah akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik jika kita ikhlas dalam menerima. Hanya dengan berserah diri kepada Al- Barri Allah yang Maha Pengatur, maka jiwa ini akan merasa tenang, menggantungkan semua harapan kepada yang Maha memberi (Provider Abadi), Yang maha kekal abadi (Ever-lasting One), maka rasa perih tersebut akan berangsur-angsur menjadi tenang.


Diceritakan, Suami pertama Ummu Salamah adalah Abu Salamah radhiyallahu `anhu Allahu, yang kembali kepada Allah (SWT) ketika Jumada Al-Akhir pada tahun keempat setelah Hijrah, setelah menerima luka dalam Pertempuran Uhud. Kematiannya  mengakibatkan kesedihan karena ia telah mencintainya dengan tulus. Akan tetapi , Ummu Salamah (ra) tidak gagal untuk berpaling kepada Allah (SWT). Patah hati dengan kepergiannya, dia tetap teguh dalam hubungannya dengan Allah (SWT) dan berserah diri hanya kepada-Nya untuk kita Rabb (Tuhan) adalah Al Mughni-the Pemupuk, satu-satunya yang memenuhi kebutuhan Penciptaan-Nya. Dalam masa dukanya saat ia bertanya-tanya siapa seseorang  yang mungkin bisa menggantikan lebih baik dari Abu Salamah, maka Ia berdo'a kepada Allah:


inna lillahi wa inna ilayhi raji `oon, Allahumma ajirni fi musibati wa li akhlif khayran minha"Sesungguhnya, kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah! Gantikanlah untuk musibah yang telah menimpaku dengan yang  lebih baik dari itu. "Allah (swt) kemudian menjawab nya do'a dengan memberikan nya Rasulullah ï·º (saw) sendiri! Dalam Syawal pada tahun yang sama di mana Abu Salamah (ra) kembali kepada Allah (SWT), Rasulullah ï·º menikahinya. Dengan demikian, karena kesabaran dan pengakuan bahwa kita adalah milik Allah (SWT) dan kepada-Nya kita kembali, Allah (swt) kompensasi dia dengan hadiah dan dibalas kehilangannya."Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah?" Dengan memberkati dia dengan Rasullah kita tercinta.


Maka hikmah dibalik cerita di atas tersebut adalah Sabar dan ikhlas, menyerahkan  segala urusan hanya kepada Allah. karena segala yang hilang pasti akan ada gantinya. orang-orang terkasih yang pergi, insya Allah, Ia akan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih baik yang akan menyayangi kita. Bahkan bisa saja dengan kuasa Allah, dipertemukan kembali dengan orang-orang yang kita sayangi.

Tiada ujian dan musibah yang melebihi kapasitas kemampuan kita, karena Allah tiada akan memberi cobaan melebihi kemampuan mahluknya. Hujan pasti berhenti, badai pasti berlalu,dan luka akan mengering segera jika kita Menyadari bahwa hanya kepada Allah tempat kita mengadu, mencurahkan segenab kepercayaan hanya kepada -Nya bahwa kita yakin dengan bantuan-nya semua derita dan musibah akan bisa terlewati. 

Tiada rasa kehilangan, kesulitan  dan musibah yang terlalu sulit untuk dilewati, jika kita menyadari bahwa jiwa dan raga kita ini hnya milik Allah, hanya dari Allah lah dan hanya kepada Allahlah kita, dan semua yang kita miliki akan kembali. 



Rabu, 27 Februari 2013

Islam di Akita


Tidak banyak yang bisa diceritakan tentang Islam dan perkembangannya di Akita. Sebuah provinsi yang terletak di Jepang bagian timur, bersebelahan dengan Provinsi Aomori dan Iwate, lebih gamblangnya provinsi yang berada di bawah pulau Hokkaido. Tentunya masuk dalam zona wilayah bersuhu dingin. Di Akita  musim dingin dimulai dari Desember hingga Awal April, dan puncak Musim dingin adalah pada bulan Januari hingga Desember dengan rata-rata suhu udara 1 derajat Celcius sampai pada -6 derajat Celcius.

Sesuai dengan iklim Akita yang dingin, maka aktivitas dan perkembangan Islam di wilayah Akita berjalan dingin. Selama menginjakkan kaki ke Akita, belum ada satu pun tempat di setiap sudut Akita ini yang bisa disebut dengan bangunan masjid. Hampir tiga bulan berdiam di Akita, akhirnya seorang teman dari  Afganistan berbaik hati menuntun saya pada  sebuah ruang mungil yang disediakan oleh pihak Universitas Akita yang  terletak di Area Kampus, tepatnya berada di area gedung kegiatan club Kampus. Ruang tersebut dipergunakan untuk keperluan sholat, lebih tepatnya Sholat Jum'at. Sebenarnya ruang sholat tersebut bisa digunakan untuk waktu-waktu sholat lainnya karena di dalam ruang tersebut terbentang karpet lengkap dengan beberapa sajadah dan 3 buah rak yang tersusun beberapa Al Qur'an dan buku-buku islam berbahasa Inggris, dan sebagian besar berbahasa Melayu. Tepat sekali seperti dugaan anda, bahwa sebagian besar warga Muslim di Akita adalah mahasiswa Malaysia yang menuntut jenjang S1, jumlah mereka adalah yang terbanyak dari seluruh warga muslim yang saya ketahui di Akita, yaitu berjumlah kira-kira 30 orang. Selebihnya adalah berasal dari Afganistan, Indonesia, Pakistan. Selama pengamatan saya, belum pernah saya dengar ada orang Jepang yang beragama Islam di daerah Akita.

Meski ruang tersebut diberi izin untuk digunakan sebagai tempat sholat, namun tidak tersedianya tempat wudhu atau toilet membuat tempat tersebut terasa kurang pas, Kurang pas disebut sebagai mushola apalagi Masjid. Meski demikian, Patutlah bersyukur karena masih ada tempat untuk para pria melaksanakan kewajiban Sholat Jumat setiap minggunya, walau pada kenyataannya, Sholat Jum'at sering tidak diselenggarakan karena kurangnya jumlah jama'ah yang menjadi syarat bisa diselenggarakannya sholat Jumat.



Sedangkan hanya beberapa orang Indonesia yang beragama Islam yang bisa dikenal di Provinsi Akita. Beberapa dari mereka adalah warga Indonesia yang tinggal menetap di sini karena menikah dengan orang Jepang. Kegiatan Rohani seperti pengajian juga tidak pernah saya jumpai, tapi saya sering dengar bahwa pelajar dari Malaysia rutin mengadakan pengajian namun hanya untuk intern warga Malaysia saja.

Kurangnya persatuan umat Islam di Akita ini menambah kerinduan akan kampung halaman, terutama kerinduan   akan suara kumandang Azan dan bentuk bangunan masjid. Sehingga bila saya bepergian ke Tokyo dimana ada beberapa tempat yang bisa disebut sebagai bangunan Masjid seperti di wilayah Ueno, Yoyogi Uehara, Otsuka, Asakusa, saya selalu menyempatkan diri singgah di Masjid-masjid tersebut. Maka Masjid menjadi tujuan wisata spiritual saya di Tokyo. 

Islam memang masih terlihat sangat asing di Akita. Namun demikian, orang Jepang sangat menghormati muslim dan muslimah baik salam memberikan pelayanan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Selasa, 26 Februari 2013

My Experience In The First Month In Japan

       It has been 5 months since I came in Japan. The first place I stepped my feet on in Japan was Akita Airport. Beforehand, I was so nervous to fly from Indonesia to Akita alone for about 13 hours including transit hours. I had my transit in Incheon Airport, South Korea and no one I know there. What  worse, was that I don’t speak any korean.



      However, so many surprises I got soon after I was done with my trip. These all were started from, when I arrived at Akita Airport, completing all arrival procedures, and then entered the airport lounge to meet someone whom was arranged by Akita university to pick me up.  Not so long after I saw her face then we greeted each other. But suddenly, a young man came to us, introducing his self briefly in a polite way. It was getting strange when he showed me, from his wallet, something that made me a bit shocked, his identitiy card as a police officer! I asked myself, did I break some rules? or probably it was just because I looked like a suspicious stranger with my muslim dress? However I tried to answer his questions serenely. He asked me some questions, about my destination, if it was my first time to come to Japan, how long I will stay here, have I ever made any crime before (of course, my answer for this question was “Never”), and  those all intimidating questions were finished by saying “ Arigatou gozaimasu”.  Even now, I still have no idea why I had to be asked some offensive questions by a policeman? Does every foreigner get the same treat like me? (Or it was just because I came to Japan from Akita Prefecture, not from Narita International airport that it used to be.



    After a month spending my time in Akita, the suffering came over me.  Some frustating things were happening around, for instance,  the problem about I can’t have a phone cellular because it required alien resident card to have contract with the provider (and nothing I can do for because I would get that card one month after my arrival). Having no mobile phone made my communication with foreigner friends and with my tutor so difficult. In one month I had to call them by public phone which is relatively expensive. Sometimes the phone was cut off during  the conversation because I ran out of coins, and I was too lazy to get some other small changes. There was a time when  I missed a trip just because my friends were not able to reach me by phone when they wanted to invite me. I felt I was like living in my own world in a strange planet, eventhough I can speak Japanese a little bit. The worst thing was, during my first two weeks here I coudn’t access internet connection from my room eventhough I plugged the cable into my laptop, and another problem was : my laptop’s plug doesn’t  fit well with japanese electric power socket. It means that I would spend most of my nights and weekend alone and it’s like a proverb “my world totally was just like a little bird in her cage”. Lacking of money and having not so many friends to talk to made it much worse. 



      But I have to admit that during my troubles happened around there were so many pleasing things I’ve found, like facilities I‘ve got in Akita. The public service is the best so far I’ve known. For example, when I and my tutor went to ward office to do some immigration procedures, they gave me very excellent service. I didn’t need to wait for the process for hours and it costed not so expensive. It‘s so different from my country where we have to be extra-patient to wait for them to get all done for days, event for 1 or 2 weeks!

It’s surprising when only old people here are friendly to me. During my time having no bicycle, some old Japanese ( most of them are male) were greeting me and giving me supports to live here when I was on the way to campus.  Of course young people here are nice but not  as warm as old people with foreigner. There’s something in young Japanese which I never understand. It’s like we have completely different worlds, and there is a wall between them that separates us and it seems it makes them to hold back theirself to get into my life too much. Or probably am I the one who restrains myself from them? I don’t know. But I hope someday we can tear down the wall so that we can welcome each other to our own worlds, despite of our differences.

 

       The difficulties are still around me since not so many muslims live in akita, even it can be said that muslim is rare here. I have not found any Muslim Communty yet, not also mosque, even there is no Halal Store in the city that makes me should cook my own meal. By the way, in Arabic, the word halal means permitted or lawful. Halal foods are foods that are allowed under Islamic dietary guidelines. According to these guidelines gathered from the Qu'ran ( QS.Almaidah: 3-6), Muslim followers cannot consume the following:

  • pork or pork by products
  • animals that were dead prior to slaughtering
  • animals not slaughtered properly or not slaughtered in the name of Allah
  • blood and blood by products
  • alcohol, sake, mirin
  • carnivorous animals
  • birds of prey
  • land animals without external ears

These prohibited foods and ingredients are called haram in arabic, which means forbidden.

Well, as a muslim I have so many restricted foods, but the good this is I have to cook my own meal, which means, it helps me to save more my money. ( And as to halal food, some of my friends have suggested me to buy it  by online, and I think thats not bad.) Moreover, consuming home-made seafood meals everyday is quite cheap and good for my health.  



     I have faced many difficulties here. And I felt some of them are obstacle to me. Some are enlighting, but some even really hit me down. Somehow I’ve still been strugling to adapt my new life here and have been trying  some efforts to make many new friends, and of course, to learn more about Japanese people and its society.