Rabu, 27 Februari 2013

Islam di Akita


Tidak banyak yang bisa diceritakan tentang Islam dan perkembangannya di Akita. Sebuah provinsi yang terletak di Jepang bagian timur, bersebelahan dengan Provinsi Aomori dan Iwate, lebih gamblangnya provinsi yang berada di bawah pulau Hokkaido. Tentunya masuk dalam zona wilayah bersuhu dingin. Di Akita  musim dingin dimulai dari Desember hingga Awal April, dan puncak Musim dingin adalah pada bulan Januari hingga Desember dengan rata-rata suhu udara 1 derajat Celcius sampai pada -6 derajat Celcius.

Sesuai dengan iklim Akita yang dingin, maka aktivitas dan perkembangan Islam di wilayah Akita berjalan dingin. Selama menginjakkan kaki ke Akita, belum ada satu pun tempat di setiap sudut Akita ini yang bisa disebut dengan bangunan masjid. Hampir tiga bulan berdiam di Akita, akhirnya seorang teman dari  Afganistan berbaik hati menuntun saya pada  sebuah ruang mungil yang disediakan oleh pihak Universitas Akita yang  terletak di Area Kampus, tepatnya berada di area gedung kegiatan club Kampus. Ruang tersebut dipergunakan untuk keperluan sholat, lebih tepatnya Sholat Jum'at. Sebenarnya ruang sholat tersebut bisa digunakan untuk waktu-waktu sholat lainnya karena di dalam ruang tersebut terbentang karpet lengkap dengan beberapa sajadah dan 3 buah rak yang tersusun beberapa Al Qur'an dan buku-buku islam berbahasa Inggris, dan sebagian besar berbahasa Melayu. Tepat sekali seperti dugaan anda, bahwa sebagian besar warga Muslim di Akita adalah mahasiswa Malaysia yang menuntut jenjang S1, jumlah mereka adalah yang terbanyak dari seluruh warga muslim yang saya ketahui di Akita, yaitu berjumlah kira-kira 30 orang. Selebihnya adalah berasal dari Afganistan, Indonesia, Pakistan. Selama pengamatan saya, belum pernah saya dengar ada orang Jepang yang beragama Islam di daerah Akita.

Meski ruang tersebut diberi izin untuk digunakan sebagai tempat sholat, namun tidak tersedianya tempat wudhu atau toilet membuat tempat tersebut terasa kurang pas, Kurang pas disebut sebagai mushola apalagi Masjid. Meski demikian, Patutlah bersyukur karena masih ada tempat untuk para pria melaksanakan kewajiban Sholat Jumat setiap minggunya, walau pada kenyataannya, Sholat Jum'at sering tidak diselenggarakan karena kurangnya jumlah jama'ah yang menjadi syarat bisa diselenggarakannya sholat Jumat.



Sedangkan hanya beberapa orang Indonesia yang beragama Islam yang bisa dikenal di Provinsi Akita. Beberapa dari mereka adalah warga Indonesia yang tinggal menetap di sini karena menikah dengan orang Jepang. Kegiatan Rohani seperti pengajian juga tidak pernah saya jumpai, tapi saya sering dengar bahwa pelajar dari Malaysia rutin mengadakan pengajian namun hanya untuk intern warga Malaysia saja.

Kurangnya persatuan umat Islam di Akita ini menambah kerinduan akan kampung halaman, terutama kerinduan   akan suara kumandang Azan dan bentuk bangunan masjid. Sehingga bila saya bepergian ke Tokyo dimana ada beberapa tempat yang bisa disebut sebagai bangunan Masjid seperti di wilayah Ueno, Yoyogi Uehara, Otsuka, Asakusa, saya selalu menyempatkan diri singgah di Masjid-masjid tersebut. Maka Masjid menjadi tujuan wisata spiritual saya di Tokyo. 

Islam memang masih terlihat sangat asing di Akita. Namun demikian, orang Jepang sangat menghormati muslim dan muslimah baik salam memberikan pelayanan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Selasa, 26 Februari 2013

My Experience In The First Month In Japan

       It has been 5 months since I came in Japan. The first place I stepped my feet on in Japan was Akita Airport. Beforehand, I was so nervous to fly from Indonesia to Akita alone for about 13 hours including transit hours. I had my transit in Incheon Airport, South Korea and no one I know there. What  worse, was that I don’t speak any korean.



      However, so many surprises I got soon after I was done with my trip. These all were started from, when I arrived at Akita Airport, completing all arrival procedures, and then entered the airport lounge to meet someone whom was arranged by Akita university to pick me up.  Not so long after I saw her face then we greeted each other. But suddenly, a young man came to us, introducing his self briefly in a polite way. It was getting strange when he showed me, from his wallet, something that made me a bit shocked, his identitiy card as a police officer! I asked myself, did I break some rules? or probably it was just because I looked like a suspicious stranger with my muslim dress? However I tried to answer his questions serenely. He asked me some questions, about my destination, if it was my first time to come to Japan, how long I will stay here, have I ever made any crime before (of course, my answer for this question was “Never”), and  those all intimidating questions were finished by saying “ Arigatou gozaimasu”.  Even now, I still have no idea why I had to be asked some offensive questions by a policeman? Does every foreigner get the same treat like me? (Or it was just because I came to Japan from Akita Prefecture, not from Narita International airport that it used to be.



    After a month spending my time in Akita, the suffering came over me.  Some frustating things were happening around, for instance,  the problem about I can’t have a phone cellular because it required alien resident card to have contract with the provider (and nothing I can do for because I would get that card one month after my arrival). Having no mobile phone made my communication with foreigner friends and with my tutor so difficult. In one month I had to call them by public phone which is relatively expensive. Sometimes the phone was cut off during  the conversation because I ran out of coins, and I was too lazy to get some other small changes. There was a time when  I missed a trip just because my friends were not able to reach me by phone when they wanted to invite me. I felt I was like living in my own world in a strange planet, eventhough I can speak Japanese a little bit. The worst thing was, during my first two weeks here I coudn’t access internet connection from my room eventhough I plugged the cable into my laptop, and another problem was : my laptop’s plug doesn’t  fit well with japanese electric power socket. It means that I would spend most of my nights and weekend alone and it’s like a proverb “my world totally was just like a little bird in her cage”. Lacking of money and having not so many friends to talk to made it much worse. 



      But I have to admit that during my troubles happened around there were so many pleasing things I’ve found, like facilities I‘ve got in Akita. The public service is the best so far I’ve known. For example, when I and my tutor went to ward office to do some immigration procedures, they gave me very excellent service. I didn’t need to wait for the process for hours and it costed not so expensive. It‘s so different from my country where we have to be extra-patient to wait for them to get all done for days, event for 1 or 2 weeks!

It’s surprising when only old people here are friendly to me. During my time having no bicycle, some old Japanese ( most of them are male) were greeting me and giving me supports to live here when I was on the way to campus.  Of course young people here are nice but not  as warm as old people with foreigner. There’s something in young Japanese which I never understand. It’s like we have completely different worlds, and there is a wall between them that separates us and it seems it makes them to hold back theirself to get into my life too much. Or probably am I the one who restrains myself from them? I don’t know. But I hope someday we can tear down the wall so that we can welcome each other to our own worlds, despite of our differences.

 

       The difficulties are still around me since not so many muslims live in akita, even it can be said that muslim is rare here. I have not found any Muslim Communty yet, not also mosque, even there is no Halal Store in the city that makes me should cook my own meal. By the way, in Arabic, the word halal means permitted or lawful. Halal foods are foods that are allowed under Islamic dietary guidelines. According to these guidelines gathered from the Qu'ran ( QS.Almaidah: 3-6), Muslim followers cannot consume the following:

  • pork or pork by products
  • animals that were dead prior to slaughtering
  • animals not slaughtered properly or not slaughtered in the name of Allah
  • blood and blood by products
  • alcohol, sake, mirin
  • carnivorous animals
  • birds of prey
  • land animals without external ears

These prohibited foods and ingredients are called haram in arabic, which means forbidden.

Well, as a muslim I have so many restricted foods, but the good this is I have to cook my own meal, which means, it helps me to save more my money. ( And as to halal food, some of my friends have suggested me to buy it  by online, and I think thats not bad.) Moreover, consuming home-made seafood meals everyday is quite cheap and good for my health.  



     I have faced many difficulties here. And I felt some of them are obstacle to me. Some are enlighting, but some even really hit me down. Somehow I’ve still been strugling to adapt my new life here and have been trying  some efforts to make many new friends, and of course, to learn more about Japanese people and its society.


Senin, 25 Februari 2013

Cross Cultural Communication

        Dua hari yang lalu saya diundang makan-makan di apartemen teman saya yang berkebangsaan Afghanistan. Tentunya bukan hanya saya saja yang diundang ke sana, teman dari latar belakang bangsa yang berbeda juga turut diundang dalam perjamuan tersebut. Di antaranya adalah orang, Malaysia, Jepang, dan Botswana (Afrika). Kami disuguhi berbagaimacam santapan khas  Afganistan yang sekilas dilihat tidak berbeda dari masakan-masakan Arab atau India pada umumnya, seperti nasi berempah dan aneka kare. Tapi setelah dicicip, ternyata masakan tersebut memiliki cita rasa yang berbeda. Menurut saya jauh lebih lezat dar pada hidangan yang saya santap di Restoran India, Mesir, Iran yang berada di wilayah Tokyo. Tapi mungkin juga terasa lebih lezat karena teman  Afganistan saya ini memang jago masak, selain yang memasak ini seorang lelaki lumayan ganteng, hehhehe.....Terus terang saya sangat salut dengan laki-laki yang lihai di dapur. Menurt pribadi saya, seorang laki-laki yang lihai di dapur sama sekali tidak mengurangi sisi kemaskulinannya, justru dari kelihaian tersebut dapat terlihat bahwa mereka adalah para pria yang bisa diandalkan, terutama setelah berumah tangga di mana sang istri nantinya tidak mampu kedapur karena repot dengan bayi atau dengan urusan lainnya.

Berikut ini beberapa hidangan Afghanstan yang belum diketahui resep rahasianya:
1. Chabli Kebab (terbuat dari dagi sapi)

Daging yang dicincang kemudian dipanggang, lalu dipadukan dengan salad


2. Qurma Kare



Terbuat dari daging sapi, kentang, dan rempah yang entah apa namanya :D, rasanya mirip sekali dengan kare ala India

3. Nasi Kabli

Nasi berbumbu yang diberi kismis, wortel, almon dan lain-lain, tetntunya semua bahan yang digunakan agak mahal


      Saya pun tak kalah ingin menyuguhkan beberapa hidangan dari Indonesia sebagai sifat pekewoh saya karena diundang makan. Rasanya kalau tidak membawa sesuatu ketika berkunjung, terutama ketika diundang makan, tidak enak hati bila tida membawakan sesuatu, walhasil saya membawakan beberapa buah pisang molen dan martabak manis yang saya buat sendiri. Sebenarnya malam sebelum undangan makan tersebut, saya dan teman malaysia janjian membuatkan desert dari negara masing-masing, karena si Afghanistan tersebut akan memasakkan hidangan inti. Tapi teman sayangnya malaysia saya tersebut bangun siang sehingga ia tidak sempat mebuatkan kue dari negaranya. walhasil dari 6 tamu yang datang, hanya saya yang membuat masakan dari Indonesia. Dan tentunya hidangan ala Afghanistan tersebut nyaris dilalap habis.
Molen Mini Imut ala saya

Martabak Manis Keju ala saya



Alhamdulillah  senang rasanya karena hasil karya saya disambut baik oleh mulut mereka.
Setelah puas dengan santapan di atas, kami melanjutkan Minggu siang tersebut dengan bermain kartu yang memiliki aturan main yang sangat baru tapi sangat gampang dan mengundang banyak canda tawa.








Hidangan Cina Plus Opor ayam
      Setelah menyelesaikan permainan kartu kedua, saya berpamitan dan langsung menuju ke Asrama mahasiswa Asing yang berada hanya beberapa meter dari Apartement teman Afghanistan. Di Asrama tersebut saya memang sudah membuat janji dengan dua teman wanita dari Cina untuk memasak makana dari negara masing-masing. Mereka mengajari saya cara membuat gyoza. Saya pun mengajari mereka cara membuat Opor ayam, walaupun pada kenyataannnya mereka tidak ikut membantu saya memasak, tapi hanya menonton sesekali karena menurut mereka rempah-rempah opor tersebut sangatlah asing, dan cara mengolahnya pula terlalu rumit meskipun saya sudah jelaskan bahwa sebagian bahan bisa dibeli di supermarket di dekat stasiun kereta terdekat.   Terang saja, karena rempah masakan Cina ternyata tidak serumit masakan Indonesia, dimana bumbu yang mereka pakai pada umummnya adalah bawang putih, kecap asin, dan arak. Namun tidak apalah,yang penting mereka senang bisa merasakan yang namanya masakan  Indonesia. Ngomong-ngomong ayam tersebut saya bawa sendiri dari apartemen yang saya pesan dari toko halal online. Total saja hari itu barang bawaan saya berat sekali.



Ternyata membuat gyoza itu mudah sekali (=^w^=)

       Hari itu saya melalui acara makan-makan dua negara yang berbeda dimana timbul saling pengertian. Kalau di perjamuan makana Afghanistan, semua hidangan in sha Allah berbahan halal, maka di acara masak bersama teman Cina tersebut, betapa rasa pengertian mereka untuk tidak menggunakan bahan-bahan yang haram setelah mereka banyak bertanya kepada saya.











يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (QS.Al Hujarat : 13)

Rabu, 20 Februari 2013

Kamifuusen (Festifal Lampion Raksasa di Udara)

Kamifuusen (Balloon Lantern Festifal) atau yang lebih dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu festival lampion  raksasa udara. Kamifusen merupakan salah satu festival kebanggaan prefekture Akita di  kota Nishiki, kira-kira harus menempuh 2 jam perjalanan dari kota Akita. Festival Lampion udara ini diselenggarakan satu tahun sekali pada musim dingin tepatnya di awal bulan Februari. Sehingga ketika musim dingin dimana salju turun lebat membuat jalan menjadi licin yang memnyebabkan perjalanan menuju lokasi festival pun menjadi lebih lambat. Kota Nishiki terkenal akan tujuan wisata untuk menikmati pemandangan bunga Katakuri, yakni bunga hutan yang tumbuh liar dengan bentuk yang menyerupai anggrek di musim semi dan tujuan wisata menikmati buah Chesnut di musim gugur. Secara geografis, Kota Nishiki terletak di utara kota Kakunodate, dan sebelah barat Kota Tazawako yang mana Tazawako adalah kota yang terkenal sebagai tujuan wisata keindahan alam dan danaunya.
Bunga Katakuri




Buah chesnut yang memiliki rasa mirip kluwih

 

 

Biji kluwih, sejenis buah atau sayur nangka

 

 

 

 

 

 

 

 Festifal kamifusen sudah ada sejak ratusan tahun silam, namun berhenti ketika zaman perang, baru kembali dirayakan pada tahun 1974 atas semangat warga Nishi. Dan kini menjadi Festival tradisional tahunan yang menarik minat wisatawan domestik dan international.

Kamifuusen atau lampion raksasa ini dibuat dari kertas kemudian dilukis seperti melukis layang-layang. tema gambar pada permukaan kertas lampion tersebut bisa apa saja. Tetapi yang lebih diutamakan adalah gambar atau lukisan Akita bijin (perempun Cantik Akita) sebagai Icon Kota Akita. Bahkan salah satu hal yang menarik yang kami lihat adalah, salah satu gambarnya adalah tokoh kartun Chibi Maruko Chan yang terkenal itu. Kabarnya anak-anak TK, SD, dan SMP turut berpartisipasi menyumbangkan hasil lampion rancangan mereka di Festival tersebut. Hal itu bisa diketahui dari beberapa lampion raksasa yang mencantumkan nama sekolah mereka masing-masing.

Lalu hal yang paling ditunggu-tunggu adalah, pelepasan puluhan lampion-lampion tersebut ke udara dengan menggunakan tekhnik gas panas. Festival ini diselenggarakan pada malam hari setelah terbenamnya matahari. Lampion-lampion tersebut satu-persatu diterbangkansecara bergantian dengan sebelum diterbangkan diudara, ditahan oleh tangan-tangan anak-anak kecil. Ketika secara bersamaan dilepas oleh tangan-tangan kecil tersebut, betapa cepat balon atau lampion tersebut melesat ke langit seperti bintang bintang yang gemerlap. Apalagi ketika kapas-kapas salju berjatuhan di tanah, hasil potonya nampak seperti sebuah bintang besar dikelilingi ratusan bintang-bintang. Sangat menakjubkan.

Ukuran yang sebenarnya

Wisatawan pun berbondong-bondong datang dengan bis atau kendaraan pribadi  memadati lapangan  meskipun salju turun lebat dan jalanan menjadi sangat licin. Entah berapa kali, rasanya tak terhitung saya kepleset di atas permukaan salju, meski sudah memakai boot yang katanya anti kepleset. Tapi buktinya tetap saja saya kepleset juga. Sehebat-hebatnya sepatu boot, akhirnya akan kepleset juga (^o^).

Lapangan area dipadati oleh ratusan pengunjung setiap malamnya

 

salah satu lampion bergambar tokoh chibi Maruko Chan
Sesaat setelah dilepas ke udara
Indah Seperti bintang gejora di langit yang cerah

 

 

With some of my international friends at Andozo, Part of akita area