Tidak banyak yang bisa diceritakan tentang Islam dan perkembangannya di Akita. Sebuah provinsi yang terletak di Jepang bagian timur, bersebelahan dengan Provinsi Aomori dan Iwate, lebih gamblangnya provinsi yang berada di bawah pulau Hokkaido. Tentunya masuk dalam zona wilayah bersuhu dingin. Di Akita musim dingin dimulai dari Desember hingga Awal April, dan puncak Musim dingin adalah pada bulan Januari hingga Desember dengan rata-rata suhu udara 1 derajat Celcius sampai pada -6 derajat Celcius.
Sesuai dengan iklim Akita yang dingin, maka aktivitas dan perkembangan Islam di wilayah Akita berjalan dingin. Selama menginjakkan kaki ke Akita, belum ada satu pun tempat di setiap sudut Akita ini yang bisa disebut dengan bangunan masjid. Hampir tiga bulan berdiam di Akita, akhirnya seorang teman dari Afganistan berbaik hati menuntun saya pada sebuah ruang mungil yang disediakan oleh pihak Universitas Akita yang terletak di Area Kampus, tepatnya berada di area gedung kegiatan club Kampus. Ruang tersebut dipergunakan untuk keperluan sholat, lebih tepatnya Sholat Jum'at. Sebenarnya ruang sholat tersebut bisa digunakan untuk waktu-waktu sholat lainnya karena di dalam ruang tersebut terbentang karpet lengkap dengan beberapa sajadah dan 3 buah rak yang tersusun beberapa Al Qur'an dan buku-buku islam berbahasa Inggris, dan sebagian besar berbahasa Melayu. Tepat sekali seperti dugaan anda, bahwa sebagian besar warga Muslim di Akita adalah mahasiswa Malaysia yang menuntut jenjang S1, jumlah mereka adalah yang terbanyak dari seluruh warga muslim yang saya ketahui di Akita, yaitu berjumlah kira-kira 30 orang. Selebihnya adalah berasal dari Afganistan, Indonesia, Pakistan. Selama pengamatan saya, belum pernah saya dengar ada orang Jepang yang beragama Islam di daerah Akita.
Meski ruang tersebut diberi izin untuk digunakan sebagai tempat sholat, namun tidak tersedianya tempat wudhu atau toilet membuat tempat tersebut terasa kurang pas, Kurang pas disebut sebagai mushola apalagi Masjid. Meski demikian, Patutlah bersyukur karena masih ada tempat untuk para pria melaksanakan kewajiban Sholat Jumat setiap minggunya, walau pada kenyataannya, Sholat Jum'at sering tidak diselenggarakan karena kurangnya jumlah jama'ah yang menjadi syarat bisa diselenggarakannya sholat Jumat.
Sedangkan hanya beberapa orang Indonesia yang beragama Islam yang bisa dikenal di Provinsi Akita. Beberapa dari mereka adalah warga Indonesia yang tinggal menetap di sini karena menikah dengan orang Jepang. Kegiatan Rohani seperti pengajian juga tidak pernah saya jumpai, tapi saya sering dengar bahwa pelajar dari Malaysia rutin mengadakan pengajian namun hanya untuk intern warga Malaysia saja.
Kurangnya persatuan umat Islam di Akita ini menambah kerinduan akan kampung halaman, terutama kerinduan akan suara kumandang Azan dan bentuk bangunan masjid. Sehingga bila saya bepergian ke Tokyo dimana ada beberapa tempat yang bisa disebut sebagai bangunan Masjid seperti di wilayah Ueno, Yoyogi Uehara, Otsuka, Asakusa, saya selalu menyempatkan diri singgah di Masjid-masjid tersebut. Maka Masjid menjadi tujuan wisata spiritual saya di Tokyo.
Islam memang masih terlihat sangat asing di Akita. Namun demikian, orang Jepang sangat menghormati muslim dan muslimah baik salam memberikan pelayanan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.