Sabtu, 16 Agustus 2014

Berislam di Jepang



       Apakah agama di Jepang? Adakah ada orang Jepang yang beragama Islam? . Dua pertanyaan tersebut sering sekali keluar dari masyarakat yang masih awam tentang Jepang.
        Sebagian Besar penduduk Jepang adalah beragama Shinto atau Budha, bukan konghuchu atau hindu. Namun Meski mereka beragama Shinto atau Budha, Masyarakat Jepang lebih memandang bahwa Agama lebih dekat pada budaya dan tradisi. Sehingga ketika perayaan Natal  tiba, mereka turut serta memeriahkannya meski tidak mengunjungi gereja pada malam misa.  Perayaan-perayaan  Kristen meski diterima baik oleh masyarakat Jepang, mereka serta-merta tidak lantas memeluk agama Kristen. Sehingga, bagi mereka agama adalah suatu budaya, bukan sebagai pedoman hidup. Setelah Perang dunia II, bermunculan trend di mana semakin banyak pemuda-pemudi Jepang yang melangsungkan  pernikahan di Gereja dengan tata cara Kristen, namun ketika mereka meniggal, Jasad  mereka diupacarakan menurut tata cara agama Budha sesuai wasiat.
        Bagai mana Islam di Jepang? Apakah Islam adalah agama yang populer seperti Kristen di Jepang?.  Islam merupakan agama baru yang masuk ke Jepang. Islam tidak populer. Hal tersebut dikarenakan Islam sendiri tidak mengenal perayaan-perayaan, pesta-pesta, ritual-ritual seperti pada agama lain. Bahkan tidak sedikit masyarakat Jepang yang sama sekali buta dengan Islam. Apa itu Islam?, apa itu Masjid?  Mengapa perempuan harus membungkus kepala dan seluruh tubuhnya?.
       Hanya ada sedikit sekali catatan yang merekam sejarah masuknya Islam di Jepang. Awal mula Agama Islam masuk ke Jepang  diperkirakan  bersamaan dengan masuknya Agama Kristen sekitar tahun 1877 pada zaman  Restorai Meiji.
        Pada tahun 1890 terjadi peristiwa karamnya kapal Ertugrul milik kerajaan Ottoman Turki di perairan Jepang yang mengakibatkan korban tewas dalam jumlah yang sangat besar. Penduduk Jepang menolong para korban yang selamat dan mengadakan upacara pengormatan arwah yang meninggal. Kemudian para korban selamat dipulangkan ke turki berkat bantuan Pemerintah dan warga Jepang saat itu, Sehingga peristiwa karamnya kapal Ertugrul tersebut menjadi tonggak hubungan Jepang-Turki, khususnya kontak Islam. Pada tahun 1955 ulama-ulama dari Pakistan datang ke Jepang untuk menyi’arkan Islam sehingga Islam lebih dikenal luas. Tercatat pada tahun 1905 bahwa orang Jepang yang pertamakali memeluk Islam adalah Mitsutaro takaoka, kemudian ia mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka, sekaligus oarang Jepang pertama yang pergi berhajji. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Torajiro Yamada merupakan orang Jepang pertamayang memeluk Islam sekembalinya dari Turkii.
          Pada tahun 1935 tercatat sebagai sejarah Masjid pertama yang didirikan di Jepang, tepatnya di kota Kobe. Kemudian Masjid di Tokyo pada tahun 1938. Lantas, berapakah jumlah masjid yang ada di Jepang?.  Baru ditemukan  60 Mesjid yang tersebar di seantero Jepang!  Dan insya Allah akan terus berkembang.  Berbicara mengenai tampilan masjid di Jepang, jangan bayangkan seperti masjid-masjid kokoh yang ada di Indonesia, Kubah besar lengkap dengan corong pengeras suara atau seuah bedug. Di Jepang, bangunan masjid didirikan berkat iuran rutin warga muslim dan ikatan muslim setempat. Mereka menyewa suatu ruangan atau gedung di perkantoran  kemudian menyulapnya menjadi Mushola atau Masjid kecil, tanpa hiasan kubah atau corong pengeras suara seperti yang pernah saya jumpai di kawasan sibuk Sibuya. Karena untuk menghindari kebisingan suara yang dikhawatirkan akan mengundang protes dari penduduk sekitar, maka suara Azan dan bacaan sholat serta bacaan alquran, ceramah lainnya tidak boleh menggunakan pengeras, demikian peraturan dari Pemerintah Jepang.  Namun bukan berarti tidak ada bangunan Masjid yang megah di Jepang. Tokyo Cami merupakan salah satu masjid megah yang bisa ditemui. Tentunya sulit menemukan Masjid di Jepang, terutama daerah-daerah yang bukan kota besar seperti tokyo.  Ketika Ramadan dan 1 Syawal berlangsung pada musim Gugur dan musim dingin, warga Indonesia yang tinggal di Prefektur Chiba harus berjuang berangkat menuju SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo yang berada di Meguro dekat dari Kedutaan besar RI) sebelum pukul 5 Pagi dengan Kereta Express untuk melaksanakan Sholat Iedul fitr atau Iedul Adha. Karena Hari besar islam tidak dikenal di Jepang, maka apabila 2 hari besar tersebut tidak jatuh pada hari sabtu atau minggu, banyak warga Indonesia, khususnya pekerja dan Pelajar tidak bisa melaksanakannya karena harus mengikuti kuliah atau bekerja. Kecuali bila mereka meminta dan diberi izin khusus dari kampus atau tempat bekerja. Barulah mereka bisa berangkat ke Masjid, bukan kelapangan seperti di Indonesia atau negara-negara Islam.
Muslim dan muslimah yang berada di Kampus terpaksa menunaikan kewajiban sholat 5 waktu dengan mencari ruang-ruang kelas yang kosong. Bagi  Muslim yang berkewajiban menunaikan sholat Jum’at harus mendaftarkan  ruang di kampus untuk digunakan sholat Jum’at setiap minggunya. Sedangkan di luar ruang tempat diselenggarakan sholat Jum’at tersebut, para mahasiswa Jepang atau asing yang bukan muslim sudah bersiap mengantri untuk menggunakan ruang tersebut. Pemandangan yang sangat menarik.



Masjod Otsuka, Tokyo

Masjid Asakusa, Tokyo

Masjid Tokyo Camii






 
Masjid tertua, Kobe, Jepang


       Belum ada angka akurat yang bisa memberikan data jumlah populasi Muslim di Jepang dengan pasti. Namun dari beberapa sumber, tercatat bahwa populasi muslim baru kira-kira 0,095 % dari total populasi Jepang. Menurut perkiraan dari Islamic Center Jepang menyebutkan jumlah penduduk muslim di negara tersebut adalah sekitar  200.000 orang. Sebagian besar dari mereka berkewarganegaraan dari Turki, negara Arab, India, Pakistan dan asia tenggara dan dengan profesi beragam, namun umumnya adalah pelajar, pekerja magang, bisnis dan staf kedutaan. Yang menarik, jumlah terbesar justru berasal dari Indonesia yaitu sekitar sekitar 20.000 orang. Dan belum ada data akurat mengenai jumlah penduduk Jepang yang beragama Islam.
        Tinggal di Jepang yang merupakan negara dengan tingkat toleransi beragama yang cukup tinggi bukan berarti tidak menemukan permasalahan.  Sangat sedikitnya restoran atau toko makanan  halal menjadikan kendala yang unik. Muslim harus ekstra berhati-hati dalam memilih makanan halal. Pengalaman mengajarkan  bahwa butuh kesabaran untuk mendapatkan daging halal yang dibeli di toko halal sehingga pada akhirnya bisa menyantap daging. Mendapatkan daging halal jadi merupakan barang yang agak langka dan agak mahal.  Meski demikian, seafood yang notabene tergolong halal food sangat mudah ditemukan di setiap super market dengan harga yang relatif terjangkau.
       Para muslimah bebas mengenakan hijab di Jepang tanpa harus merasa waswas dimusuhi dan diinterogasi, meskipun ada beberapa orang  Jepang yang melirik. Mungkin Hijaber adalah mahluk yang aneh bagi mereka. Tapi tidak jarang pula ketika tengah berada di dalam kereta ada beberapa warga yang tamah mendekat dan penasaran bertanya-tanya tentang hijab.
      Sungguh, ketika kita berada di suatu tempat, daerah, negara dimana Islam merupakan minoritas, keimanan kita sebagai muslim benar-benar diuji. Semoga Ikhlas.

Lampu Penjor Riwayatmu Kini

Menyambut hari kemerdekaan RI yang jatuh pada17 Agustus, setiap tahunnya masyarakat berbondong-bondong sibuk menyiapkan pernak-pernik kemeriahan di sekitar tempat tinggal mereka. Kemerdekaan RI sepertinya tidak hanya dikaitkan dengan makna sesungguhnya, yaitu mengenang jasa-jasa pahlawan baik yang telah gugur di medan perang maupun yang masih veteran. Tapi hari kemerdekaan RI seakan menjadi hari diterapkannya gotong-royong dan kebersamaan warga. Hal itu dapat dirasakan dari semangat yang ditunjukkan warga dengan berkumpul dan mengadakan berbagai kemeriahan lomba atau acara untuk mempertemukan seluruh warga di setiap tempat administratif. Seperti warga se-RT, warga se-RW, sekelurahan sampai pada sekecamatan. Atau sesama rekan kerja di suatu persyarikatan usaha, seperti kantor dan pabrik. Uniknya dari semua ini adalah perlombaan dan acara tersebut dilangsungkan hanya 1 tahun sekali dan serempak dihari yang sama.Isi dari perlombaan dan acara bisa apa saja. Contohnya dari jenis lomba yang terClassic: panjat pinang, makan kerupuk, lari kelereng, tarik tambang, hingga jenis lomba yang terbilang masih  terbaru: pukul-pukulan dengan guling di atas sungai. Saya masih ingat semasa kecil, lomba yang paling ditunggu dan diminati adalah lomba makan kerupuk. Alasannya sedikit klise dan polos, karena cuma lomba makan kerupuklah yang paling gampang tantangannya (maksudnya nyaris tanpa tantangan), sekalipun jadi yang kalah, toh sudah bisa puas dengan makan kerupuk gratis. Hehehe.

Selain mempersiapkan aneka lomba dan acara, seluruh warga antusias menghiasi lingkungan tempat tinggal dengan bendera merah putih,  umbul-umbul( bendera berwarna-warni, saya masih heran kenapa harus dinamakan umbul2. Mungkinkah karena itu diambil dari kata umbul yang artinya adalah kampung? Tolong abaikan). Selain bendera, jalanan juga dihiasi dengan kertas minyak warna merah dan putih yang digunting segitiga, lalu ditempelkan berjajar di benang kasur. Benang kasur yang telah rapi ditempel bendera kertas merah putih tersebut Kemudian dipasang saling menyilang di sepanjang jalan.



Tidak hanya ornamen bendera merah putih dan umbul-umbul yang telah disebutkan di atas, ornamen yang tidak kalah heboh juga turut memeriahkan semangat 17 Agustus atau yang sering disebut "Agustusan". Salahnya adalah Ilmuminasi. Ya, iluminasi atau hiasan lampu turut menerangi bulan Agustus. Ternyata iluminasi tidak hanya meriah di Jepang (baca ulasan Iluminasi di blog saya sebelumnya: Pulang Kampung ke Chiba Bagian 2; Doitsu Mura, Iluminasi), tetapi sudah dari dulu iluminasi dikenal di Indonesia, bahkan di kota-kota kecil dan pedasaan yang telah teraliri listrik dengan baik. Meskipun telah mengenal iluminasi sejak dulu, tapi jangan dibandingkan dengan kemegaahan iluminasi di Jepang.
Salah satu illuminasi di Jepang

Ketika masa kanak-kanak saya, yakni di era 90-an. Iluminasi di acara Agustusan dikenal dengan istilah"Lampu Penjor". Kata penjor sendiri nerasal dari istilah ritual agama Hindu di Bali yakni batang bambu yang ujungnya melengkung dan dihiasi dengan daun kelapa mirip dengan janur kuning pengantin. Penjor di Bali memiliki makna sebagai wujud syukur akan anugerah yang telah dilimpahkan oleh sang Pencipta. Lucunya, warga kampung saya memiliki persepsi sendiri tentang arti penjor secara harfiah. Menurut warga sekitar tempat tinggal saya, Penjor berasal dari gabungan 2 kata, yakni: Pring selonjor. Pring adalah asal kata bahasa Jawa yaitu 'bambu' dan selonjor masih dari bahasa Jawa yang artinya 'lurus'. Berbicara mengenai material, sesuai dengan artinya yaitu pring (bambu), maka lampu penjor dibuat dari batang bambu yang telah dibersihkan dari daunnya. Batang bambu yang telah bersih tersebut dari ujung sampai pangkal dipasang  lampu bohlam aneka warna ukuran sedang. Pada umumnya setiap rumah hanya memasang satu batang rangkaian lampu penjor. Setelah lampu penjor tersebut telah siap, lampu tersebut ditegakkan didepan rumah masing-masing dan dihadapkan ke tengah jalan dengan dialiri listrik. Rumah warga yang saling  berhadapan dan memasang lampu penjor akan mendapati masing-masing penjor mereka saling bertautan di atas jalan raya. Sehingga deretan lampu penjor yang saling melengkung bertautan disetiap rumah akan terlihat seperti sebuab terowongan lampu, persis seperti iluminasi di Jepang masa kini. Sangat cantik dilihat dari kejauhan. Seperti hendak memasuki terowongan bintang. Masih ingat di jelas di memori saya, kala itu bapak mengajak saya, kakak, adik, dan tetangga berkeliling kota dengan mobil bututnya untuk menikmati lampu penjor di waktu malam. Yang menarik dari lampu penjor adalah ternyata di setiap jalan yang kami telisuri, didapati bahwa hiasan lampu penjor mereka memliki keindahan dan kekhasan masing-masing, dari hiasan penjor yang dirangkai dengan lampu-lampu berukuran lebih kecil hingga lampu bohlam aneka warna ukuran sedang. Semua hiasan penjor tersebut sayangnya hanya bisa dinikmati selama menjelang 17 Agustus dan beberapa hari setelahnya. Sayangnya seingat saya tradisi memasang lampu penjor yang gemerlap  hanya berlangsung 3 hingga 4 kali 17 Agustus. 

Seriring dengan mahalnya tarif listrik yang dirasakan oleh warga selama konsumsi listrik oleh lampu penjor dan karena rasa bosan, maka tradisi memasang lampu penjor pun seperti digerus oleh zaman, sirna tanpa cerita. Gemerlap lampu penjor boleh saja redup, namun semangat kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang positif jangan sampai ikut meredup. Dirgahayu Negriku ke-69 tahun.
Lampu Penjor
Meskipun dirangkai dengan sederhana, namun  terasa sudah paling hebat semasanya