Menyambut hari kemerdekaan RI yang jatuh pada17 Agustus, setiap tahunnya masyarakat berbondong-bondong sibuk menyiapkan pernak-pernik kemeriahan di sekitar tempat tinggal mereka. Kemerdekaan RI sepertinya tidak hanya dikaitkan dengan makna sesungguhnya, yaitu mengenang jasa-jasa pahlawan baik yang telah gugur di medan perang maupun yang masih veteran. Tapi hari kemerdekaan RI seakan menjadi hari diterapkannya gotong-royong dan kebersamaan warga. Hal itu dapat dirasakan dari semangat yang ditunjukkan warga dengan berkumpul dan mengadakan berbagai kemeriahan lomba atau acara untuk mempertemukan seluruh warga di setiap tempat administratif. Seperti warga se-RT, warga se-RW, sekelurahan sampai pada sekecamatan. Atau sesama rekan kerja di suatu persyarikatan usaha, seperti kantor dan pabrik. Uniknya dari semua ini adalah perlombaan dan acara tersebut dilangsungkan hanya 1 tahun sekali dan serempak dihari yang sama.Isi dari perlombaan dan acara bisa apa saja. Contohnya dari jenis lomba yang terClassic: panjat pinang, makan kerupuk, lari kelereng, tarik tambang, hingga jenis lomba yang terbilang masih terbaru: pukul-pukulan dengan guling di atas sungai. Saya masih ingat semasa kecil, lomba yang paling ditunggu dan diminati adalah lomba makan kerupuk. Alasannya sedikit klise dan polos, karena cuma lomba makan kerupuklah yang paling gampang tantangannya (maksudnya nyaris tanpa tantangan), sekalipun jadi yang kalah, toh sudah bisa puas dengan makan kerupuk gratis. Hehehe.
Selain mempersiapkan aneka lomba dan acara, seluruh warga antusias menghiasi lingkungan tempat tinggal dengan bendera merah putih, umbul-umbul( bendera berwarna-warni, saya masih heran kenapa harus dinamakan umbul2. Mungkinkah karena itu diambil dari kata umbul yang artinya adalah kampung? Tolong abaikan). Selain bendera, jalanan juga dihiasi dengan kertas minyak warna merah dan putih yang digunting segitiga, lalu ditempelkan berjajar di benang kasur. Benang kasur yang telah rapi ditempel bendera kertas merah putih tersebut Kemudian dipasang saling menyilang di sepanjang jalan.
Tidak hanya ornamen bendera merah putih dan umbul-umbul yang telah disebutkan di atas, ornamen yang tidak kalah heboh juga turut memeriahkan semangat 17 Agustus atau yang sering disebut "Agustusan". Salahnya adalah Ilmuminasi. Ya, iluminasi atau hiasan lampu turut menerangi bulan Agustus. Ternyata iluminasi tidak hanya meriah di Jepang (baca ulasan Iluminasi di blog saya sebelumnya: Pulang Kampung ke Chiba Bagian 2; Doitsu Mura, Iluminasi), tetapi sudah dari dulu iluminasi dikenal di Indonesia, bahkan di kota-kota kecil dan pedasaan yang telah teraliri listrik dengan baik. Meskipun telah mengenal iluminasi sejak dulu, tapi jangan dibandingkan dengan kemegaahan iluminasi di Jepang.
Salah satu illuminasi di Jepang |
Ketika masa kanak-kanak saya, yakni di era 90-an. Iluminasi di acara Agustusan dikenal dengan istilah"Lampu Penjor". Kata penjor sendiri nerasal dari istilah ritual agama Hindu di Bali yakni batang bambu yang ujungnya melengkung dan dihiasi dengan daun kelapa mirip dengan janur kuning pengantin. Penjor di Bali memiliki makna sebagai wujud syukur akan anugerah yang telah dilimpahkan oleh sang Pencipta. Lucunya, warga kampung saya memiliki persepsi sendiri tentang arti penjor secara harfiah. Menurut warga sekitar tempat tinggal saya, Penjor berasal dari gabungan 2 kata, yakni: Pring selonjor. Pring adalah asal kata bahasa Jawa yaitu 'bambu' dan selonjor masih dari bahasa Jawa yang artinya 'lurus'. Berbicara mengenai material, sesuai dengan artinya yaitu pring (bambu), maka lampu penjor dibuat dari batang bambu yang telah dibersihkan dari daunnya. Batang bambu yang telah bersih tersebut dari ujung sampai pangkal dipasang lampu bohlam aneka warna ukuran sedang. Pada umumnya setiap rumah hanya memasang satu batang rangkaian lampu penjor. Setelah lampu penjor tersebut telah siap, lampu tersebut ditegakkan didepan rumah masing-masing dan dihadapkan ke tengah jalan dengan dialiri listrik. Rumah warga yang saling berhadapan dan memasang lampu penjor akan mendapati masing-masing penjor mereka saling bertautan di atas jalan raya. Sehingga deretan lampu penjor yang saling melengkung bertautan disetiap rumah akan terlihat seperti sebuab terowongan lampu, persis seperti iluminasi di Jepang masa kini. Sangat cantik dilihat dari kejauhan. Seperti hendak memasuki terowongan bintang. Masih ingat di jelas di memori saya, kala itu bapak mengajak saya, kakak, adik, dan tetangga berkeliling kota dengan mobil bututnya untuk menikmati lampu penjor di waktu malam. Yang menarik dari lampu penjor adalah ternyata di setiap jalan yang kami telisuri, didapati bahwa hiasan lampu penjor mereka memliki keindahan dan kekhasan masing-masing, dari hiasan penjor yang dirangkai dengan lampu-lampu berukuran lebih kecil hingga lampu bohlam aneka warna ukuran sedang. Semua hiasan penjor tersebut sayangnya hanya bisa dinikmati selama menjelang 17 Agustus dan beberapa hari setelahnya. Sayangnya seingat saya tradisi memasang lampu penjor yang gemerlap hanya berlangsung 3 hingga 4 kali 17 Agustus.
Seriring dengan mahalnya tarif listrik yang dirasakan oleh warga selama konsumsi listrik oleh lampu penjor dan karena rasa bosan, maka tradisi memasang lampu penjor pun seperti digerus oleh zaman, sirna tanpa cerita. Gemerlap lampu penjor boleh saja redup, namun semangat kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang positif jangan sampai ikut meredup. Dirgahayu Negriku ke-69 tahun.
Lampu Penjor Meskipun dirangkai dengan sederhana, namun terasa sudah paling hebat semasanya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar