Rabu, 09 April 2014

Ketika Rasa Ukhuwah Menembus Batas Negara

Sebelum kaki ini menginjak pertama kalinya di tanah Akita, tak pernah terbayangkan bahwa saya bisa mengenal dan membaur dengan berbagai jenis ras dan bangsa. Selama kurang lebih 7 bulan pertama saya menjalani hidup di kota Akita, yang saya rasakan hanyalah kegelisahan, rasa takut sendiri, selalu merasa kurang banyak memiliki teman di sekitar, baca juga blog saya berjudul  My First Experience in Akita. Seiring waktu berjalan, rasa-rasa perkawanan mulai tumbuh. Tumbuhnya rasa perkawanan di sini artinya bahwa dari mulai terdapat rasa saling membutuhkan satu sama lain, sapaan hangat, saling mengundang satu sama lain,  perhatian, sampai saling curhat. 
Tinggal di negeri asing jauh dari keluarga dan kerabat tentu tidak mudah. Siapa lagi yang bisa membantu kita Ketika musibah dan kesulitan menghampiri, seperti sakit dan lain-lain. Tentunya teman-teman atau tetangga terdekat lah yang bisa diandalkan untuk dimintai pertolongan. Rasa angkuh, tinggi hati,  merasa diri hebat atau merasa semua bisa diatasi dengan tangan sendiri hanya akan melukai diri di suatu waktu tanpa tahu kapan waktu sulit itu akan menyapa. Ketika tinggal di suatu daerah yang asing, kita tidak bisa hidup dengan mempertahankan keangkuhan diri.(hasil dari perenungan setelah melakukan pengamatan terhadap  beberapa prilaku orang-orang di sekitar). Maka sekali-kali TIDAK.
Dalam proses menjalin pertemanan yang erat, tentunya berbagai rintangan dan kesulitan mendera silih berganti.  kenyataannya bahwa tidak semua niat  baik akan selamanya berjalan mulus, lancar seperti gletser yang meluncur jatuh dari puncak gunung tepat ke anak-anak sungai. Semua harus dilalui dengan perjuangan yakni berusaha meyakinkan dengan menjadi pribadi yang menyenangkan sehingga bisa diterima, tentunya menjadi pribadi yang baik dan tak kalah pentingnya menjadi diri sendiri. Lalu secara aktif masuk ke komunitas mereka meskipun awalnya sangat sulit. Beberapa kesulitan yang saya rasakan selama itu antara lain karena kendala bahasa, aksen, budaya, dan kebiasaan. Rasa kecewa pun terkadang pernah dialamai tatkala ada kesan diabaikan atau kurang diterima.
No pain no gain, berakit-rakit ke hulu bersenang-senang kemudian. Alhamdulillah gayung bersambut seiring berjalannya waktu, doa dan usaha, keinginan agar bisa diterima dan bersahabat mendapat respon lebih dari dugaan. Bahkan nilai  persahabatan  tersebut telah tumbuh menjadi rasa persaudaraan, saling mendoakan dan saling bahu-membahu.  Bukan hanya acara kumpul makan-makan  di saat senang saja, di saat susah dan membutuhkan bantuan pun mereka dengan ikhlas mengulurkan bantuan.
Setelah 1, 5 tahun saya berada di Akita, seolah-olah garis batas kewarganegaraan menjadi samar. Indonesia, Malaysia, Afghanistan hanyalah embel-embel sebuah kartu identitas belaka. Ternyata rasa persaudaraan mampu menghapus garis-garis batas yang membelenggu ketika beberapa orang yang berlainan bangsa ingin hidup damai disertai rasa saling menyayangi. Secara hukum negara, identitas kami memang berbeda, namun mereka lah manusia-manusia berhati indah yang banyak membantu saya dengan keikhlasan selama menjalani 1,5 tahun lamanya merantau di negeri asing. Mereka juga lah yang meredakan tangisan sepi saya, mewarnai canda tawa manisnya arti persahabatan. Di mana pun mereka berada, seberapa pun jauhnya kami telah terpisah pulau bahkan benua, mereka adalah saudara dan saudari saya. Jazakallah Khairan Katsiran. Semoga Allah SWT yang maha penyayang senantiasa melindungi mereka dan membalas semua kebaikan-kebaikan mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar