Setiap hari orang Jepang harus bekerja selama 7 hingga 8 jam, dari
pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, dari hari Senin sampai hari Jumat. Pada kenyataannya, lamanya 8 jam kerja
tersebut belum termasuk jam lembur. Bila diamati, 8 jam kerja dalam sehari di
Jepang sama dengan besarnya jumlah jam kerja di Indonesia, khususnya staff kantor swasta dan staff PNS. Bedanya, bila di
Jepang, seseorang merasa sungkan bila
meninggalkan tempat kerja paling awal daripada rekan-rekan kerja lainnya, meskipun
jam kerja pada saat itu sudah
selesai. Sehingga mereka akan menahan
diri untuk meninggalkan tempat kerja lebih awal dari rekan atau atasan mereka.
Sifat tenggang rasa dan “pekewoh” dalam diri mereka menimbukan sifat rasa malu
untuk berbeda dari yang lain. Dengan tidak meninggalkan tempat kerja lebih
awal, mereka dengan “legowo” meneruskan pekerjaan mereka, atau membantu rekan
kerja mereka hingga sebagian besar karyawan menyelesaikan tugas masing-masing. Setelah
bersama-sama menyelesaikan tugas di meja kerja, lantas mereka tidak langsung
pulang dan beristirahat di rumah. Ada kalanya
mereka melakukan sosialisasi
dengan sesama rekan kerja atau kolega untuk saling mengenal satu sama lain setelah seharian atau
sepanjang minggu bersikap kaku berkutat di lingkungan kerja. Karena di Jepang
menganut prinsip sikap profesional dalam
bekerja. Artinya, bahwa ketika bekerja, curahkan seluruh pikiran dan tenaga
untuk pekerjaan, dan menghindari hal-hal yang tidak berguna, seperti bergosip,
atau bahkan sekedar untuk membaca koran.
Batas akhir usia bekerja rata-rata
55 tahun dan 60 tahun, kurang lebih sama dengan di Indonesia. Setelah mereka
pensiun dari pekerjaan lama, tidak lantas mereka hanya berdiam diri di rumah
menikmati hari tua. Meskipun setiap bulan mereka rutin menerima uang pensiun dari pemerintah
bagi PNS atau dari asuransi pensiun yang mereka bayar rutin selama masa muda mereka,
ternyata tidak sedikit dari lansia di atas usia 60 tahun tetap meneruskan untuk bekerja. Tentunya jenis
pekerjaan lanjutan itu bukan merupakan pekerjaan tetap. Pada umumnya pekerjaan
yang mereka lakukan adalah pekerjaan paruh waktu atau honor. Jenis pekerjaan
paruh waktu tersebut bisa di bidang apa saja, asal tidak berhubungan dengan 3 K , yakni : Kitsui (Pekerjaan yang berat, melelahkan, menyengsarakan),
Kitanai (seperti pekerjaan kotor
mafia, kriminal), dan kiken (
berbahaya, besar resikonya). Selama tidak menyangkut 3 K tersebut, para lansia
Jepang merasa tidak malu untuk melanjutkan kerja paruh waktu, seperti pelayan
resoran atau toko, sampai Cleaning
Service. Mereka tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan tersebut meski dulu
mereka adalah seorang karyawan kantor.
Prinsip mereka dalam bekerja adalah, supaya sisa usia mereka dapat bermanfaat
sebaik-baiknya. Bahkan tentunya mereka masih bisa mengumpulkan uang dari jerih
payah mereka. Selain itu bekerja bukan semata untuk memperoleh materi,
tapi terdapat kepuasan batin ketika merasakan
diri mereka masih bermanfaat, juga selain dapat bergabung di komunitas sosial yang baru. Mereka terlihat tetap ingin mandiri walau telah memasuki usia pensiun. Ketika saya sedang berbelanja di supermarket atau sekedar jalan-jalan cuci mata di pusat perbelanjaan dan mall, pemandangan di mana nenek-nenek usia 70-an sedang berjalan sendiri sambil menarik tas belanja dorong mereka tidak sedikit dijumpai. Nenek-nenek atau kakek-kakek yang menggendong ransel belanja tanpa didampingi keluarga adalah pemandangan yang umum di sana. Ada kesan bahwa mereka masih mampu sendiri dan tidak mau merepotkan keluarga.
Data statistik tahun 2012 yang
dikumpulkanmelalui Kementrian Kesejahteraan dan Sosial Jepang menunjukkan bahwa usia harapan hidup di Jepang menduduki peringkat nomor 1 di dunia. Rata-rata
usia harapan hidup di Jepang antara 79, 94 tahun bagi laki-laki, dan 86, 41
tahun bagi perempuan. Maka usia 60 tahun sebenarnya bagi mereka bukanlah usian
yang dianggap terlalu tua, sebagai manusia lemah dan patut dikasihani. Mereka merasa usia 60 tahun adalah usia
di mana segala sesuatu diawali lagi, menemukan hal-hal baru. Bagi mereka yang tidak ingin bekerja lagi setelah
memasuki usia 60 tahun, mereka bergabung sebagai sukarelawan dalam bidang sosial dan
pendidikan. Suatu hari Saya pernah mendengar cerita yang sangat menarik, bahwa di suatu sudut kota ada seorang
nenek berusia sangat tua. Setiap hari ia hanya berdiri di bawah lampu rambu-rambu lalu lintas. Entah apa yang
ia kerjakan hanya dengan berdiri di sana. Ternyata setelah diselidik, ia hanya
ingin merasa dirinya bermanfaat bagi orang lain meski sebatas mampu berdiri
seharian di sudut lampu rambu lalu lintas!. Betapa orang Jepang ingin merasa
dirinya dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, meski hanya dilirik
dan dilalui orang. Sejujurnya saya
sedikit menyangsikan kebenaran cerita tersebut, karena saya tidak pernah
bertemu dengan orang yang dibicarakan itu secara langsung. kabarnya, banyak dari sukarelawan berani mati yang mendedikasikan diri mereka untuk turut berusaha menghentikan kebocoran reaktor nuklir Fukusima akibat gempa dan tsunami yang melanda prefektur Fukushima tahun 2010 adalah para lansia yakni kakek-kakek. Mereka dengan berani mengorbankan nyawa terkena resiko terpapar bahaya radiasi nuklir demi menyelamatkan Jepang saat itu. Setelah terlebih dahulu berpamitan kepada keluarga. Kisah lengkap tentang sikap heroik mereka lebih mengharukan lagi.
Beberapa hari sebelum kepulangan saya ke
tanah air, ketika saya sedang menyusuri jalan sekitar kampus, secara kebetulan saya melihat seorang nenek
renta, mungkin usianya sekitar 90-an. Ia berjalan dengan sebilah tongkat. Tampak sekali ia sudah kepayahan untuk berjalan karena sudah
bungkuk. Saya amati dari kejauhan
perilakunya yang berjalan bungkuk dengan tongkat tuanya dengan sesekali duduk berjongkok. Awalnya saya berpikir bahwa ia sedang berjalan-jalan menikmati udara sore
yang segar, merasa lelah setelah beberapa langkah berjalan, lalu duduk berjongkok. Karena terbawa rasa penasaran, lalu saya dan teman saya berjalan agak cepat mendekat
nenek renta tersebut yang berdiri di seberang kami berdua di tepi pagar
kampus. Ternyata pemandangan yang menyentuh kalbu ditemui di sana. Nenek renta
tersebut tidak semata-mata hanya berjalan-jalan menghirup udara segar di sore
hari itu, tapi ia tengah berusaha membuat dirinya bermanfaat bagi lingkungan
sekitar. Hal yang ia lakukan adalah sekedar mencabuti
rumput-rumput liar yang tumbuh di tepian pagar kampus!. Rasa kagum saya kepada nenek renta tersebut
tidak mengalahkan rasa hormat saya kepada beliau. Meskipun apan yang
dilakukannya bila dipandang sepele sebelah mata dan terasa tidak berarti, karena area kampus tersebut sangatlah luas dengan
dikelilingi pagar. Maka di sepanjang pagar kampus itu, rumput liar kering tumbuh
dengan leluasa. Namun nenek renta tersebut telah membuktikan bahwa dirinya yang
renta dengan jalan terseok mampu membuktikan bahwa dirinya masih terlihat bugar dan berguna meskipun
sebatas hanya mencabuti rumput liar yang kering satu-persatu, meskipun rasanya tidak mungkin bahwa nenek tersebut mampu mencabuti seluruh rumput liar kering yang tumbuh di seluruh pinggiran pagar kampus yang luas itu. Dari apa yang saya
lihat, saya telah membuktikan dengan
mata kepala sendiri bahwa betapa orang Jepang
ingin di sepanjang hidupnya melakukan hal-hal yang berguna. Bukan memposisikan dirinya sebagai lansia lemah yang hanya bisa berbaring di rumah.
Seorang nenek yang saya lihat di pinggir pagar kampus Akita |
Secara
mayoritas, orang Jepang bukan muslim. Namun
justru mereka telah mengamalkan nilai-nilai Islam tanpa mengenal Islam itu sendiri. Padahal
Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wasallam di
dalam hadistnya, salah satu syarat untuk menjadi manusia yang baik di antara manusia lainnya adalah dengan menjadi
manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya:
“
Sebaik-baiknya manusia adalah yang
bermanfaat bagi orang lain.”
(HR.
Ahmad, Thabrani, Daruqutni.disahihkan Al Bani dalam As-Silsilah As-Sahihah)
Sekarang,
di sisa usia kita, maanfaat apa yang telah kita bawa untuk keluarga, negara dan
agama?
Sudah
banggakah kita dengan sekelumit hal yang dilakukan selama ini?
Mari
berintropeksi.