Kamis, 04 September 2014

Menjadi Pribadi yang Bermanfaat


    Setiap hari orang  Jepang harus bekerja selama 7 hingga 8 jam, dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, dari hari Senin sampai hari Jumat.  Pada kenyataannya, lamanya 8 jam kerja tersebut belum termasuk jam lembur. Bila diamati, 8 jam kerja dalam sehari di Jepang sama dengan besarnya jumlah jam kerja di Indonesia, khususnya staff kantor swasta dan staff PNS. Bedanya, bila di Jepang, seseorang merasa sungkan  bila meninggalkan tempat kerja paling awal daripada rekan-rekan kerja lainnya, meskipun jam  kerja pada saat itu sudah selesai.  Sehingga mereka akan menahan diri untuk meninggalkan tempat kerja lebih awal dari rekan atau atasan mereka. Sifat tenggang rasa dan “pekewoh” dalam diri mereka menimbukan sifat rasa malu untuk berbeda dari yang lain. Dengan tidak meninggalkan tempat kerja lebih awal, mereka dengan “legowo” meneruskan pekerjaan mereka, atau membantu rekan kerja mereka hingga sebagian besar karyawan menyelesaikan tugas masing-masing. Setelah bersama-sama menyelesaikan tugas di meja kerja, lantas mereka tidak langsung pulang dan beristirahat di rumah. Ada kalanya  mereka  melakukan sosialisasi dengan sesama rekan kerja atau kolega untuk saling  mengenal satu sama lain setelah seharian atau sepanjang minggu bersikap kaku berkutat di lingkungan kerja. Karena di Jepang menganut prinsip sikap  profesional dalam bekerja. Artinya, bahwa ketika bekerja, curahkan seluruh pikiran dan tenaga untuk pekerjaan, dan menghindari hal-hal yang tidak berguna, seperti bergosip, atau bahkan sekedar untuk membaca koran.

       Batas akhir usia bekerja rata-rata 55 tahun dan 60 tahun, kurang lebih sama dengan di Indonesia. Setelah mereka pensiun dari pekerjaan lama, tidak lantas mereka hanya berdiam diri di rumah menikmati hari tua. Meskipun setiap bulan mereka rutin menerima uang pensiun dari pemerintah bagi PNS atau dari asuransi pensiun yang mereka bayar rutin selama masa muda mereka, ternyata tidak sedikit dari lansia di atas usia 60 tahun tetap  meneruskan untuk bekerja. Tentunya jenis pekerjaan lanjutan itu bukan merupakan pekerjaan tetap. Pada umumnya pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan paruh waktu atau honor. Jenis pekerjaan paruh waktu tersebut bisa di bidang apa saja, asal tidak berhubungan dengan 3 K , yakni : Kitsui (Pekerjaan yang berat, melelahkan, menyengsarakan), Kitanai (seperti pekerjaan kotor mafia, kriminal), dan kiken ( berbahaya, besar resikonya).   Selama  tidak menyangkut 3 K tersebut, para lansia Jepang merasa tidak malu untuk melanjutkan kerja paruh waktu, seperti pelayan resoran atau toko, sampai Cleaning Service. Mereka tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan tersebut meski dulu mereka adalah seorang karyawan kantor.  Prinsip mereka dalam bekerja adalah, supaya sisa usia mereka dapat bermanfaat sebaik-baiknya. Bahkan tentunya mereka masih bisa mengumpulkan uang dari jerih payah mereka. Selain itu bekerja bukan semata untuk memperoleh materi, tapi terdapat kepuasan batin ketika  merasakan diri mereka masih bermanfaat, juga selain dapat bergabung di komunitas sosial yang baru. Mereka terlihat tetap  ingin mandiri walau telah memasuki usia pensiun. Ketika saya sedang berbelanja di supermarket atau sekedar jalan-jalan cuci mata di pusat perbelanjaan dan mall, pemandangan di mana nenek-nenek usia 70-an sedang berjalan sendiri sambil menarik tas  belanja dorong mereka tidak sedikit dijumpai. Nenek-nenek atau kakek-kakek yang menggendong ransel belanja tanpa didampingi keluarga adalah pemandangan yang umum di sana. Ada kesan bahwa mereka  masih mampu sendiri dan tidak mau merepotkan keluarga.

  Data statistik tahun 2012 yang dikumpulkanmelalui Kementrian Kesejahteraan  dan Sosial Jepang menunjukkan  bahwa usia harapan hidup di Jepang  menduduki peringkat nomor 1 di dunia. Rata-rata usia harapan hidup di Jepang antara 79, 94 tahun bagi laki-laki, dan 86, 41 tahun bagi perempuan. Maka usia 60 tahun sebenarnya bagi mereka bukanlah usian yang dianggap terlalu tua, sebagai manusia lemah dan patut dikasihani.  Mereka merasa usia 60 tahun adalah usia di mana segala sesuatu diawali lagi, menemukan hal-hal baru. Bagi mereka yang tidak ingin bekerja lagi setelah memasuki usia 60 tahun, mereka bergabung sebagai  sukarelawan dalam bidang sosial dan pendidikan. Suatu hari Saya pernah mendengar cerita yang sangat menarik, bahwa di suatu sudut kota ada seorang nenek berusia sangat tua. Setiap hari ia hanya berdiri di  bawah lampu rambu-rambu lalu lintas. Entah apa yang ia kerjakan hanya dengan berdiri di sana. Ternyata setelah diselidik, ia hanya ingin merasa dirinya bermanfaat bagi orang lain meski sebatas mampu berdiri seharian di sudut lampu rambu lalu lintas!. Betapa orang Jepang ingin merasa dirinya dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, meski hanya dilirik dan dilalui orang.  Sejujurnya saya sedikit menyangsikan kebenaran cerita tersebut, karena saya tidak pernah bertemu dengan orang yang dibicarakan itu secara langsung. kabarnya, banyak dari sukarelawan berani mati yang mendedikasikan diri mereka untuk turut berusaha menghentikan kebocoran reaktor nuklir Fukusima akibat gempa dan tsunami yang melanda prefektur Fukushima tahun 2010 adalah para lansia yakni kakek-kakek. Mereka dengan berani mengorbankan nyawa terkena resiko terpapar bahaya radiasi nuklir demi menyelamatkan Jepang saat itu. Setelah terlebih dahulu berpamitan kepada keluarga. Kisah lengkap tentang sikap heroik mereka lebih mengharukan lagi.

     Beberapa hari sebelum kepulangan saya ke tanah air, ketika saya sedang menyusuri  jalan sekitar  kampus,  secara kebetulan saya melihat seorang nenek renta, mungkin usianya sekitar 90-an. Ia berjalan dengan sebilah tongkat. Tampak sekali ia sudah kepayahan untuk berjalan karena sudah bungkuk.  Saya amati dari kejauhan perilakunya yang berjalan bungkuk dengan tongkat tuanya dengan sesekali duduk berjongkok. Awalnya saya berpikir bahwa ia sedang berjalan-jalan menikmati udara sore yang segar, merasa lelah setelah beberapa langkah berjalan, lalu duduk berjongkok. Karena terbawa rasa penasaran, lalu saya dan teman saya berjalan agak cepat mendekat nenek renta tersebut yang berdiri di seberang kami berdua di tepi pagar kampus. Ternyata pemandangan yang menyentuh kalbu ditemui di sana. Nenek renta tersebut tidak semata-mata hanya berjalan-jalan menghirup udara segar di sore hari itu, tapi ia tengah berusaha membuat dirinya bermanfaat bagi lingkungan sekitar.  Hal yang ia lakukan adalah sekedar mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di tepian pagar kampus!.  Rasa kagum saya kepada nenek renta tersebut tidak mengalahkan rasa hormat saya kepada beliau. Meskipun apan yang dilakukannya bila dipandang sepele sebelah mata dan  terasa tidak berarti, karena   area kampus tersebut sangatlah luas dengan dikelilingi pagar. Maka di sepanjang pagar kampus itu, rumput liar kering tumbuh dengan leluasa. Namun nenek renta tersebut telah membuktikan bahwa dirinya yang renta dengan jalan terseok mampu membuktikan bahwa dirinya masih terlihat bugar dan berguna meskipun sebatas hanya mencabuti rumput liar yang kering satu-persatu, meskipun rasanya tidak mungkin bahwa nenek tersebut mampu mencabuti seluruh rumput liar kering yang tumbuh di seluruh pinggiran pagar kampus yang luas itu. Dari apa yang saya lihat, saya  telah membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa betapa orang  Jepang ingin di sepanjang hidupnya melakukan hal-hal yang berguna. Bukan memposisikan dirinya sebagai lansia lemah yang hanya bisa berbaring di rumah.


Seorang nenek yang saya lihat  di pinggir pagar kampus Akita

     Secara mayoritas,  orang Jepang bukan muslim. Namun justru mereka telah mengamalkan nilai-nilai Islam tanpa mengenal Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wasallam  di dalam hadistnya, salah satu syarat untuk menjadi manusia yang baik di  antara manusia lainnya adalah dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya:

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”
(HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni.disahihkan Al Bani dalam As-Silsilah As-Sahihah)


Sekarang, di sisa usia kita, maanfaat apa yang telah kita bawa untuk keluarga, negara dan agama?
Sudah banggakah kita dengan sekelumit hal yang dilakukan selama ini?
Mari berintropeksi.

 

Sabtu, 16 Agustus 2014

Berislam di Jepang



       Apakah agama di Jepang? Adakah ada orang Jepang yang beragama Islam? . Dua pertanyaan tersebut sering sekali keluar dari masyarakat yang masih awam tentang Jepang.
        Sebagian Besar penduduk Jepang adalah beragama Shinto atau Budha, bukan konghuchu atau hindu. Namun Meski mereka beragama Shinto atau Budha, Masyarakat Jepang lebih memandang bahwa Agama lebih dekat pada budaya dan tradisi. Sehingga ketika perayaan Natal  tiba, mereka turut serta memeriahkannya meski tidak mengunjungi gereja pada malam misa.  Perayaan-perayaan  Kristen meski diterima baik oleh masyarakat Jepang, mereka serta-merta tidak lantas memeluk agama Kristen. Sehingga, bagi mereka agama adalah suatu budaya, bukan sebagai pedoman hidup. Setelah Perang dunia II, bermunculan trend di mana semakin banyak pemuda-pemudi Jepang yang melangsungkan  pernikahan di Gereja dengan tata cara Kristen, namun ketika mereka meniggal, Jasad  mereka diupacarakan menurut tata cara agama Budha sesuai wasiat.
        Bagai mana Islam di Jepang? Apakah Islam adalah agama yang populer seperti Kristen di Jepang?.  Islam merupakan agama baru yang masuk ke Jepang. Islam tidak populer. Hal tersebut dikarenakan Islam sendiri tidak mengenal perayaan-perayaan, pesta-pesta, ritual-ritual seperti pada agama lain. Bahkan tidak sedikit masyarakat Jepang yang sama sekali buta dengan Islam. Apa itu Islam?, apa itu Masjid?  Mengapa perempuan harus membungkus kepala dan seluruh tubuhnya?.
       Hanya ada sedikit sekali catatan yang merekam sejarah masuknya Islam di Jepang. Awal mula Agama Islam masuk ke Jepang  diperkirakan  bersamaan dengan masuknya Agama Kristen sekitar tahun 1877 pada zaman  Restorai Meiji.
        Pada tahun 1890 terjadi peristiwa karamnya kapal Ertugrul milik kerajaan Ottoman Turki di perairan Jepang yang mengakibatkan korban tewas dalam jumlah yang sangat besar. Penduduk Jepang menolong para korban yang selamat dan mengadakan upacara pengormatan arwah yang meninggal. Kemudian para korban selamat dipulangkan ke turki berkat bantuan Pemerintah dan warga Jepang saat itu, Sehingga peristiwa karamnya kapal Ertugrul tersebut menjadi tonggak hubungan Jepang-Turki, khususnya kontak Islam. Pada tahun 1955 ulama-ulama dari Pakistan datang ke Jepang untuk menyi’arkan Islam sehingga Islam lebih dikenal luas. Tercatat pada tahun 1905 bahwa orang Jepang yang pertamakali memeluk Islam adalah Mitsutaro takaoka, kemudian ia mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka, sekaligus oarang Jepang pertama yang pergi berhajji. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Torajiro Yamada merupakan orang Jepang pertamayang memeluk Islam sekembalinya dari Turkii.
          Pada tahun 1935 tercatat sebagai sejarah Masjid pertama yang didirikan di Jepang, tepatnya di kota Kobe. Kemudian Masjid di Tokyo pada tahun 1938. Lantas, berapakah jumlah masjid yang ada di Jepang?.  Baru ditemukan  60 Mesjid yang tersebar di seantero Jepang!  Dan insya Allah akan terus berkembang.  Berbicara mengenai tampilan masjid di Jepang, jangan bayangkan seperti masjid-masjid kokoh yang ada di Indonesia, Kubah besar lengkap dengan corong pengeras suara atau seuah bedug. Di Jepang, bangunan masjid didirikan berkat iuran rutin warga muslim dan ikatan muslim setempat. Mereka menyewa suatu ruangan atau gedung di perkantoran  kemudian menyulapnya menjadi Mushola atau Masjid kecil, tanpa hiasan kubah atau corong pengeras suara seperti yang pernah saya jumpai di kawasan sibuk Sibuya. Karena untuk menghindari kebisingan suara yang dikhawatirkan akan mengundang protes dari penduduk sekitar, maka suara Azan dan bacaan sholat serta bacaan alquran, ceramah lainnya tidak boleh menggunakan pengeras, demikian peraturan dari Pemerintah Jepang.  Namun bukan berarti tidak ada bangunan Masjid yang megah di Jepang. Tokyo Cami merupakan salah satu masjid megah yang bisa ditemui. Tentunya sulit menemukan Masjid di Jepang, terutama daerah-daerah yang bukan kota besar seperti tokyo.  Ketika Ramadan dan 1 Syawal berlangsung pada musim Gugur dan musim dingin, warga Indonesia yang tinggal di Prefektur Chiba harus berjuang berangkat menuju SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo yang berada di Meguro dekat dari Kedutaan besar RI) sebelum pukul 5 Pagi dengan Kereta Express untuk melaksanakan Sholat Iedul fitr atau Iedul Adha. Karena Hari besar islam tidak dikenal di Jepang, maka apabila 2 hari besar tersebut tidak jatuh pada hari sabtu atau minggu, banyak warga Indonesia, khususnya pekerja dan Pelajar tidak bisa melaksanakannya karena harus mengikuti kuliah atau bekerja. Kecuali bila mereka meminta dan diberi izin khusus dari kampus atau tempat bekerja. Barulah mereka bisa berangkat ke Masjid, bukan kelapangan seperti di Indonesia atau negara-negara Islam.
Muslim dan muslimah yang berada di Kampus terpaksa menunaikan kewajiban sholat 5 waktu dengan mencari ruang-ruang kelas yang kosong. Bagi  Muslim yang berkewajiban menunaikan sholat Jum’at harus mendaftarkan  ruang di kampus untuk digunakan sholat Jum’at setiap minggunya. Sedangkan di luar ruang tempat diselenggarakan sholat Jum’at tersebut, para mahasiswa Jepang atau asing yang bukan muslim sudah bersiap mengantri untuk menggunakan ruang tersebut. Pemandangan yang sangat menarik.



Masjod Otsuka, Tokyo

Masjid Asakusa, Tokyo

Masjid Tokyo Camii






 
Masjid tertua, Kobe, Jepang


       Belum ada angka akurat yang bisa memberikan data jumlah populasi Muslim di Jepang dengan pasti. Namun dari beberapa sumber, tercatat bahwa populasi muslim baru kira-kira 0,095 % dari total populasi Jepang. Menurut perkiraan dari Islamic Center Jepang menyebutkan jumlah penduduk muslim di negara tersebut adalah sekitar  200.000 orang. Sebagian besar dari mereka berkewarganegaraan dari Turki, negara Arab, India, Pakistan dan asia tenggara dan dengan profesi beragam, namun umumnya adalah pelajar, pekerja magang, bisnis dan staf kedutaan. Yang menarik, jumlah terbesar justru berasal dari Indonesia yaitu sekitar sekitar 20.000 orang. Dan belum ada data akurat mengenai jumlah penduduk Jepang yang beragama Islam.
        Tinggal di Jepang yang merupakan negara dengan tingkat toleransi beragama yang cukup tinggi bukan berarti tidak menemukan permasalahan.  Sangat sedikitnya restoran atau toko makanan  halal menjadikan kendala yang unik. Muslim harus ekstra berhati-hati dalam memilih makanan halal. Pengalaman mengajarkan  bahwa butuh kesabaran untuk mendapatkan daging halal yang dibeli di toko halal sehingga pada akhirnya bisa menyantap daging. Mendapatkan daging halal jadi merupakan barang yang agak langka dan agak mahal.  Meski demikian, seafood yang notabene tergolong halal food sangat mudah ditemukan di setiap super market dengan harga yang relatif terjangkau.
       Para muslimah bebas mengenakan hijab di Jepang tanpa harus merasa waswas dimusuhi dan diinterogasi, meskipun ada beberapa orang  Jepang yang melirik. Mungkin Hijaber adalah mahluk yang aneh bagi mereka. Tapi tidak jarang pula ketika tengah berada di dalam kereta ada beberapa warga yang tamah mendekat dan penasaran bertanya-tanya tentang hijab.
      Sungguh, ketika kita berada di suatu tempat, daerah, negara dimana Islam merupakan minoritas, keimanan kita sebagai muslim benar-benar diuji. Semoga Ikhlas.

Lampu Penjor Riwayatmu Kini

Menyambut hari kemerdekaan RI yang jatuh pada17 Agustus, setiap tahunnya masyarakat berbondong-bondong sibuk menyiapkan pernak-pernik kemeriahan di sekitar tempat tinggal mereka. Kemerdekaan RI sepertinya tidak hanya dikaitkan dengan makna sesungguhnya, yaitu mengenang jasa-jasa pahlawan baik yang telah gugur di medan perang maupun yang masih veteran. Tapi hari kemerdekaan RI seakan menjadi hari diterapkannya gotong-royong dan kebersamaan warga. Hal itu dapat dirasakan dari semangat yang ditunjukkan warga dengan berkumpul dan mengadakan berbagai kemeriahan lomba atau acara untuk mempertemukan seluruh warga di setiap tempat administratif. Seperti warga se-RT, warga se-RW, sekelurahan sampai pada sekecamatan. Atau sesama rekan kerja di suatu persyarikatan usaha, seperti kantor dan pabrik. Uniknya dari semua ini adalah perlombaan dan acara tersebut dilangsungkan hanya 1 tahun sekali dan serempak dihari yang sama.Isi dari perlombaan dan acara bisa apa saja. Contohnya dari jenis lomba yang terClassic: panjat pinang, makan kerupuk, lari kelereng, tarik tambang, hingga jenis lomba yang terbilang masih  terbaru: pukul-pukulan dengan guling di atas sungai. Saya masih ingat semasa kecil, lomba yang paling ditunggu dan diminati adalah lomba makan kerupuk. Alasannya sedikit klise dan polos, karena cuma lomba makan kerupuklah yang paling gampang tantangannya (maksudnya nyaris tanpa tantangan), sekalipun jadi yang kalah, toh sudah bisa puas dengan makan kerupuk gratis. Hehehe.

Selain mempersiapkan aneka lomba dan acara, seluruh warga antusias menghiasi lingkungan tempat tinggal dengan bendera merah putih,  umbul-umbul( bendera berwarna-warni, saya masih heran kenapa harus dinamakan umbul2. Mungkinkah karena itu diambil dari kata umbul yang artinya adalah kampung? Tolong abaikan). Selain bendera, jalanan juga dihiasi dengan kertas minyak warna merah dan putih yang digunting segitiga, lalu ditempelkan berjajar di benang kasur. Benang kasur yang telah rapi ditempel bendera kertas merah putih tersebut Kemudian dipasang saling menyilang di sepanjang jalan.



Tidak hanya ornamen bendera merah putih dan umbul-umbul yang telah disebutkan di atas, ornamen yang tidak kalah heboh juga turut memeriahkan semangat 17 Agustus atau yang sering disebut "Agustusan". Salahnya adalah Ilmuminasi. Ya, iluminasi atau hiasan lampu turut menerangi bulan Agustus. Ternyata iluminasi tidak hanya meriah di Jepang (baca ulasan Iluminasi di blog saya sebelumnya: Pulang Kampung ke Chiba Bagian 2; Doitsu Mura, Iluminasi), tetapi sudah dari dulu iluminasi dikenal di Indonesia, bahkan di kota-kota kecil dan pedasaan yang telah teraliri listrik dengan baik. Meskipun telah mengenal iluminasi sejak dulu, tapi jangan dibandingkan dengan kemegaahan iluminasi di Jepang.
Salah satu illuminasi di Jepang

Ketika masa kanak-kanak saya, yakni di era 90-an. Iluminasi di acara Agustusan dikenal dengan istilah"Lampu Penjor". Kata penjor sendiri nerasal dari istilah ritual agama Hindu di Bali yakni batang bambu yang ujungnya melengkung dan dihiasi dengan daun kelapa mirip dengan janur kuning pengantin. Penjor di Bali memiliki makna sebagai wujud syukur akan anugerah yang telah dilimpahkan oleh sang Pencipta. Lucunya, warga kampung saya memiliki persepsi sendiri tentang arti penjor secara harfiah. Menurut warga sekitar tempat tinggal saya, Penjor berasal dari gabungan 2 kata, yakni: Pring selonjor. Pring adalah asal kata bahasa Jawa yaitu 'bambu' dan selonjor masih dari bahasa Jawa yang artinya 'lurus'. Berbicara mengenai material, sesuai dengan artinya yaitu pring (bambu), maka lampu penjor dibuat dari batang bambu yang telah dibersihkan dari daunnya. Batang bambu yang telah bersih tersebut dari ujung sampai pangkal dipasang  lampu bohlam aneka warna ukuran sedang. Pada umumnya setiap rumah hanya memasang satu batang rangkaian lampu penjor. Setelah lampu penjor tersebut telah siap, lampu tersebut ditegakkan didepan rumah masing-masing dan dihadapkan ke tengah jalan dengan dialiri listrik. Rumah warga yang saling  berhadapan dan memasang lampu penjor akan mendapati masing-masing penjor mereka saling bertautan di atas jalan raya. Sehingga deretan lampu penjor yang saling melengkung bertautan disetiap rumah akan terlihat seperti sebuab terowongan lampu, persis seperti iluminasi di Jepang masa kini. Sangat cantik dilihat dari kejauhan. Seperti hendak memasuki terowongan bintang. Masih ingat di jelas di memori saya, kala itu bapak mengajak saya, kakak, adik, dan tetangga berkeliling kota dengan mobil bututnya untuk menikmati lampu penjor di waktu malam. Yang menarik dari lampu penjor adalah ternyata di setiap jalan yang kami telisuri, didapati bahwa hiasan lampu penjor mereka memliki keindahan dan kekhasan masing-masing, dari hiasan penjor yang dirangkai dengan lampu-lampu berukuran lebih kecil hingga lampu bohlam aneka warna ukuran sedang. Semua hiasan penjor tersebut sayangnya hanya bisa dinikmati selama menjelang 17 Agustus dan beberapa hari setelahnya. Sayangnya seingat saya tradisi memasang lampu penjor yang gemerlap  hanya berlangsung 3 hingga 4 kali 17 Agustus. 

Seriring dengan mahalnya tarif listrik yang dirasakan oleh warga selama konsumsi listrik oleh lampu penjor dan karena rasa bosan, maka tradisi memasang lampu penjor pun seperti digerus oleh zaman, sirna tanpa cerita. Gemerlap lampu penjor boleh saja redup, namun semangat kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang positif jangan sampai ikut meredup. Dirgahayu Negriku ke-69 tahun.
Lampu Penjor
Meskipun dirangkai dengan sederhana, namun  terasa sudah paling hebat semasanya

Rabu, 09 April 2014

Ketika Rasa Ukhuwah Menembus Batas Negara

Sebelum kaki ini menginjak pertama kalinya di tanah Akita, tak pernah terbayangkan bahwa saya bisa mengenal dan membaur dengan berbagai jenis ras dan bangsa. Selama kurang lebih 7 bulan pertama saya menjalani hidup di kota Akita, yang saya rasakan hanyalah kegelisahan, rasa takut sendiri, selalu merasa kurang banyak memiliki teman di sekitar, baca juga blog saya berjudul  My First Experience in Akita. Seiring waktu berjalan, rasa-rasa perkawanan mulai tumbuh. Tumbuhnya rasa perkawanan di sini artinya bahwa dari mulai terdapat rasa saling membutuhkan satu sama lain, sapaan hangat, saling mengundang satu sama lain,  perhatian, sampai saling curhat. 
Tinggal di negeri asing jauh dari keluarga dan kerabat tentu tidak mudah. Siapa lagi yang bisa membantu kita Ketika musibah dan kesulitan menghampiri, seperti sakit dan lain-lain. Tentunya teman-teman atau tetangga terdekat lah yang bisa diandalkan untuk dimintai pertolongan. Rasa angkuh, tinggi hati,  merasa diri hebat atau merasa semua bisa diatasi dengan tangan sendiri hanya akan melukai diri di suatu waktu tanpa tahu kapan waktu sulit itu akan menyapa. Ketika tinggal di suatu daerah yang asing, kita tidak bisa hidup dengan mempertahankan keangkuhan diri.(hasil dari perenungan setelah melakukan pengamatan terhadap  beberapa prilaku orang-orang di sekitar). Maka sekali-kali TIDAK.
Dalam proses menjalin pertemanan yang erat, tentunya berbagai rintangan dan kesulitan mendera silih berganti.  kenyataannya bahwa tidak semua niat  baik akan selamanya berjalan mulus, lancar seperti gletser yang meluncur jatuh dari puncak gunung tepat ke anak-anak sungai. Semua harus dilalui dengan perjuangan yakni berusaha meyakinkan dengan menjadi pribadi yang menyenangkan sehingga bisa diterima, tentunya menjadi pribadi yang baik dan tak kalah pentingnya menjadi diri sendiri. Lalu secara aktif masuk ke komunitas mereka meskipun awalnya sangat sulit. Beberapa kesulitan yang saya rasakan selama itu antara lain karena kendala bahasa, aksen, budaya, dan kebiasaan. Rasa kecewa pun terkadang pernah dialamai tatkala ada kesan diabaikan atau kurang diterima.
No pain no gain, berakit-rakit ke hulu bersenang-senang kemudian. Alhamdulillah gayung bersambut seiring berjalannya waktu, doa dan usaha, keinginan agar bisa diterima dan bersahabat mendapat respon lebih dari dugaan. Bahkan nilai  persahabatan  tersebut telah tumbuh menjadi rasa persaudaraan, saling mendoakan dan saling bahu-membahu.  Bukan hanya acara kumpul makan-makan  di saat senang saja, di saat susah dan membutuhkan bantuan pun mereka dengan ikhlas mengulurkan bantuan.
Setelah 1, 5 tahun saya berada di Akita, seolah-olah garis batas kewarganegaraan menjadi samar. Indonesia, Malaysia, Afghanistan hanyalah embel-embel sebuah kartu identitas belaka. Ternyata rasa persaudaraan mampu menghapus garis-garis batas yang membelenggu ketika beberapa orang yang berlainan bangsa ingin hidup damai disertai rasa saling menyayangi. Secara hukum negara, identitas kami memang berbeda, namun mereka lah manusia-manusia berhati indah yang banyak membantu saya dengan keikhlasan selama menjalani 1,5 tahun lamanya merantau di negeri asing. Mereka juga lah yang meredakan tangisan sepi saya, mewarnai canda tawa manisnya arti persahabatan. Di mana pun mereka berada, seberapa pun jauhnya kami telah terpisah pulau bahkan benua, mereka adalah saudara dan saudari saya. Jazakallah Khairan Katsiran. Semoga Allah SWT yang maha penyayang senantiasa melindungi mereka dan membalas semua kebaikan-kebaikan mereka. 

Minggu, 16 Februari 2014

言葉は心の表現

  歴史的に言葉はいつからこの世に来たのか、インターネットでこの情報についての研究したテーマを調べると手に入れる結果がたくさん出ています。その1つの論理では言葉の原語がおよそ50万年前から始めて南アフリカで発展して、全世界で広がってきた事は発見されました。確かに、この生きている世界の中で初人間が生まれたとともに、言葉も誕生したでしょう。そして時代が変わりに沿って、言葉自体は文法や語彙や発音なども変わっています。やがって、現在のように独特的な方言はそれぞれの国を属する自慢になった物です。


  ただし、言葉とは語彙だけとして認められないことです。文法も気持ちも複雑に混ざっているそこの人間とここの人間が結び付いているコミュニケーションの道具の1つです。ある話では誰かと話している時ぴったりする言葉はなかなか出て来ないため、コミュニケーションもスムーズにいっていません。言葉文章を使う時に、気持ちを入れずに文法の中心として話したら、誤解は勿論、相手の気持ちも気付ける恐れがあると思います。その他は可笑しい、微妙などに思われてしまうこともあるでしょう。私は村上春樹の読み物に出た意見と同意して、「外国語を習うのに。まず注意することは自分という人間の手応えという存在感がなければ、その言葉はただ構文と単語の丸暗記に終ってしまう」。その意味では外国語という第2言語を順調に学習できるため、相手が自分を支えてくれる存在はいなければ、練習をする際に、文法的と発音的に完璧に表すことができますが、礼儀的にぜんぜん駄目という人がいるではないでしょうか。その結果、言葉遣いにあまり気を付けないせいで、喧嘩になったことが多いでしょう。そのために、幼い頃から、人間は社会で学なぶことによって、言っても良い言葉と言ってはいけない言葉をごゆっくりと理解する必要が非常にあると思います。



  外国に住んでいる方なら心で感じていることを相手に理解してもらい気持ちは当然です。そのため、皆は正しい言い方を学べないといけないと考えます。そのきっかけで、一所懸命に外国語を身につけます。しかし、どうやって外国語を順調に習得できるのでしょうか、その3人の筆者の読み物の中でそれぞれの学習の方法をシェアーされました。村上春樹の記事では学習方法ははっきりと説明されません。村上春樹が英語を学んでいた間に、失敗したり自身が無かったりした経験だけを述べられました。しかし、村上春樹と違って、舘岡洋子の記事で、筆者の学習観を少しはっきり説明しました。「それぞれ、目指しているしていることも違うし、その人に向いている学習方法も違うと思うからです。結局は自分で自分にあった方法を見つけていくしかないのではないでしょうか。全般的に人によって勉強の目標が違うため、興味深い勉強方法も違いに決まっています。勉強方法に期していえるなら、厳しい勉強方法とさり気無く勉強方法がありますが、村上春樹が書いたことに少し反対して、学習できるためにある程度では必要に迫れるところがあると思います。厳しい勉強方法とは例えば、授業に出ることと意識にべんきょうすることです。一方、さり気無い勉強方法とは歌や漫画やドラマなどという興味に関する勉強方法です。なぜなら、人間は知りたい事のみではなく、知るべきである事も五分五分に取り、知識が幅広くなるからです。簡単に言えば、コツと心と精一杯に合わせて、頭の中で協力すれば、成功に外国語を習得できるようになります。

  したがって、言葉によって心から伝いたい意思などは正しい表現を用いれば、上手に伝えられます。上手く伝えますから、メセージはちゃんと伝わります。逆に間違える表現を用いれば、元々の意思は伝われません。そのため、言葉は心から誕生した物なので、言葉は心の表現、又は心の鏡と言います。私にとって、言葉遣いと人の柄は結びがあり、たくさんの優しい言葉を使えば使うほど、きっと心も優しいです。引き換え、いる人が汚くて悪い言葉のみ用いれば、きっと心も悪いと分かるのではないでしょうか。
Mirror-Girl

Cambridge-Regional-College-student-Laura-Williams-